Cheng Ho: Laksamana Muslim Tiongkok yang Membawa Dinasti Ming ke Puncak Kejayaan Maritim di Nusantara
- www.thoughtco.com
Sejarah, VIVA Banyuwangi –Bayangkan seorang laksamana yang memimpin armada kapal terbesar dunia, menembus samudra hingga Afrika, membawa pesan perdamaian sekaligus menunjukkan kekuatan Tiongkok. Dialah Cheng Ho, sang pelaut legendaris dari Dinasti Ming yang bahkan menjalin hubungan erat dengan kerajaan besar seperti Majapahit.
Kebangkitan Dinasti Ming dan Misi Maritim
Dinasti Ming (1368–1644) merupakan masa kebangkitan setelah kekuasaan asing Mongol runtuh. Kaisar pertama Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang, berhasil memulihkan otoritas Tiongkok. Namun, puncak keagresifan ekspansi Ming terjadi di era Kaisar Yongle (1402–1424), yang terkenal karena ambisinya untuk menampilkan kekuatan Dinasti Ming di mata dunia.
Kaisar Yongle memulai misi maritim besar untuk memperkenalkan kekuatan dan kebudayaan Tiongkok. Dalam misi ini, ia menunjuk Zheng He—atau yang lebih dikenal di Asia Tenggara sebagai Cheng Ho—seorang laksamana muslim yang telah membuktikan loyalitas dan keahliannya di medan militer.
Siapa Cheng Ho?
Lahir di Yunnan pada 1371 dengan nama Ma He, Cheng Ho berasal dari keluarga Muslim Hui. Di usia 10 tahun, ia ditangkap dalam ekspansi militer Ming dan dibawa ke ibu kota untuk dilatih sebagai kasim. Berkat kecerdasan dan fisiknya yang mengesankan (bertinggi lebih dari 1,8 meter), Ma He menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle, yang kemudian memberinya nama kehormatan Zheng He.
Sebagai seorang muslim, Cheng Ho memiliki pemahaman mendalam tentang budaya dan agama di wilayah barat Tiongkok hingga Asia Tenggara. Hal ini menjadikannya pilihan ideal untuk memimpin misi diplomatik dan perdagangan ke luar negeri.
Armada Harta Karun: Keajaiban Teknologi Maritim
Ekspedisi Cheng Ho didukung oleh armada "kapal harta karun" (treasure ships) yang menjadi kebanggaan teknologi maritim Tiongkok. Kapal-kapal ini berukuran raksasa, mencapai panjang lebih dari 120 meter—enam kali lipat ukuran kapal Columbus. Dengan sembilan tiang layar, kapal ini mampu membawa ribuan ton barang, termasuk hadiah untuk pemimpin negara yang dikunjungi.
Armada ini terdiri dari 300 kapal pendukung, termasuk kapal perang, kapal pasokan air, hingga kapal khusus untuk kuda. Teknologi seperti kompas magnetik, peta bintang, dan lambung kapal bersekat kedap air menjadikan pelayaran Cheng Ho unggul dibandingkan bangsa Eropa pada masa itu.
Tujuh Ekspedisi Besar Cheng Ho dan Hubungan dengan Majapahit
Antara tahun 1405 dan 1433, Cheng Ho memimpin tujuh ekspedisi besar ke Asia Tenggara, Asia Selatan, Teluk Persia, hingga pantai timur Afrika. Setiap pelayaran melibatkan lebih dari 27.000 pelaut. Dalam beberapa ekspedisinya, Cheng Ho singgah di Nusantara dan menjalin hubungan erat dengan kerajaan besar saat itu, yakni Majapahit.
Kerajaan Majapahit, yang berada di puncak kejayaan maritimnya di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, memiliki peran penting dalam jalur perdagangan internasional. Cheng Ho mengunjungi pelabuhan-pelabuhan besar di wilayah Majapahit, seperti Tuban dan Surabaya, untuk memperkuat hubungan dagang antara Dinasti Ming dan Majapahit. Kunjungan ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga mempererat hubungan diplomatik antara dua peradaban besar Asia.
● Pelayaran Pertama (1405–1407): Cheng Ho singgah di Jawa untuk bertemu dengan penguasa Majapahit, membawa hadiah berharga dari Kaisar Yongle sebagai tanda persahabatan.
● Pelayaran Ketiga (1409–1411): Cheng Ho kembali ke wilayah Nusantara, memperkuat hubungan dagang dan memperkenalkan teknologi maritim Tiongkok kepada masyarakat lokal.
● Pelayaran Kelima (1417–1419): Ia membawa delegasi dari kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara, termasuk Majapahit, ke Tiongkok untuk menemui Kaisar Ming.
Jejak Cheng Ho di Asia Tenggara dan Majapahit
Di Asia Tenggara, termasuk wilayah kekuasaan Majapahit, Cheng Ho dikenal sebagai pembawa pesan perdamaian. Jejaknya masih terasa hingga kini, seperti Masjid Cheng Ho di Surabaya dan Semarang yang menjadi simbol persahabatan Tiongkok dengan Nusantara.
Dalam catatan sejarah, Cheng Ho memuji sistem pelabuhan dan perdagangan Majapahit yang terorganisir. Ia juga menyebut bahwa Majapahit adalah salah satu pusat kebudayaan maritim terbesar di Asia, yang menjadikannya mitra strategis bagi Dinasti Ming.
Akhir Perjalanan dan Warisan yang Kekal
Setelah pelayaran ketujuh, Cheng Ho kembali ke Tiongkok dan menghabiskan sisa hidupnya di Nanjing, tempat makamnya kini berdiri. Sayangnya, setelah kematiannya, kebijakan maritim Dinasti Ming berubah drastis. Kaisar berikutnya menghentikan ekspedisi laut besar dan memusatkan perhatian pada ancaman internal dan pembangunan daratan.
Namun, warisan Cheng Ho tetap abadi. Hubungan diplomatik dan budaya antara Tiongkok dan Nusantara, termasuk Majapahit, membuktikan bahwa kekuatan sejati tidak hanya berasal dari militer, tetapi juga dari diplomasi dan kerja sama antarbangsa.