Brain Rot Word of the Year Kamus Oxford 2024, Kenali dan Cegah Bahayanya
- pinterest @fatherly.com
Teknologi, VIVA Banyuwangi –Brain Rot menjadi istilah terpilih sebagai Oxford of the Year 2024. Mengapa istilah ini terpilih? Pernahkan terpikirkan mengapa anak-anak Gen Z dan Gen Alpha lebih sering menggunakan setiap waktu luangnya untuk browsing dan menggunakan istilah-istilah yang kerap tidak kita pahami?
Kata-kata seperti skibidi, ohio, mewing, dan sigma yang kerap beredar di media sosial terutama pada kalangan Gen Alpha (2010 – 2025) ternyata termasuk dalam brainrot language. Padahal jika kita melihat kilas waktu lalu, setiap gnereasi pasti memiliki istilah-istilah terkenalnya sendiri.
Namun mengapa istilah-istilah saat ini dianggap sebagai gejala Brain rot? Yuk kenali lebih lanjt dan cara mencegahnya paa anak.
Apa Itu Brain Rot?
Disadur dari Oxford University Press, Brain rot didefinisikan sebagai kemerosotan kondisi otak (mental atau intelektual) seseorang akibat dari terlalu sering mengonsumsi konten online dengan kualitas sepele atau rendah.
Istilah Brain rot sendiri sebenarnya sudah ditemukan sejak tahun 1854 dari buku Walden karya Henry David Thoreau, yang berisikan pengalamannya dalam menjalani hidup sederhana di alam.
Thoreau menjelaskan bahwa kecenderungan masyarakat dalam meremehkan ide-ide kompleks dan memilih cara yang lebih sederhana sebagai indikasi penurunan mental dan intelektual secara umum.
Istilah Brain rot kemudian dikuak kembali pada tahun 2007 oleh Dr. Michael Rich di Rumah Sakit Anak di Boston, Amerika Serikat.
Istilah ini digunakan untuk menjelaskan kondisi seseorang yang terlalu terekspos dengan konten online receh, sehingga mereka cenderung mengkaitakn pengalaman sehari-hari, hingga mencontoh perilaku negative yang mereka lihat.
Fenomena kebusukan otak ini diketahui semakin meningkat frekuensinya sebesar 230% antara tahun 2023 dan 2024. Kesimpulannya, brain rot bisa dialami oleh siapa saja yang mengakses internet untuk konten receh secara berlebih, terutama pada remaja dan anak-anak.
Ciri-Ciri Brain Rot
Perilaku brain rot dapat dikenali seperti berikut:
1. Doomscrolling: Perilaku seseorang yang sulit untuk lepas dari gawai hanya untuk melihat konten bersifat negatif, bahkan ketika bkerja, bersama keluarga, dan teman.
2. Zombie scrolling: Perilaku seseorang yang lebih memilih untuk scrolling video di media sosial secara terus menerus tanpa tujuan atau manfaat yang ingin dicapai. Hanya ingin melihat konten apa pun yang tersaji pada gawai.
3. Kecanduan Media Sosial: Perilaku seseorang yang merasa tidak nyaman jika tidak mengecek media sosial secara terus menerus. Sehingga memicu seseorang untuk sangat mudah membuka media sosial melalui notifikasi tidak penting.
4. Kecanduan Video Game: Perilaku seseorang yang menjadikan video game sebagai prioritas utama dan lebih mudah mengesampingkan kegiatan produktif lainnya dalam kehidupan sehari-hari.
Cara Mencegah Brain Rot
Setelah mengetahui istilah ‘Brain rot’ serta gejala perilakunya, alangkah baiknya untuk mengetahui Tindakan yang tepat dalam pencegahannya, seperti berikut ini:
- Menetapkan screen time yang jelas, seperti pembatasan penggunaan gawai tidak lebih dari 2 jam bagi orang dewasa diluar jam kerja. Sedangkan untuk anak-anak hanya 1-2 jam saja.
- Perbanyak bersosialisasi seperti mengobrol bersama keluarga, teman, jalan-jalan bersama, berbelanja tanpa banyak melibatkan gawai di setiap kegiatan.
- Memanfaatkan waktu luang dengan aktivitas fisik misalnya perbanyak kegiatan olahraga, bercocok tanam, memasak, maupun kegiatan lainnya yang lebih bermanfaat untuk melatih otak dan fisik.
- Hindari menggunakan gawai sebelum tidur agar tidak menyita waktu istirahat dengan kegiatan scrolling serta paparan screen time berlebih dan menikmati konten receh yang menyebabkan brain rot.
Internet sebagai salah satu tanda kemajuan jaman memang dapat memudahkan manusia, namun alangkah baiknya jika kita bijak dalam menggunakannya. Pastikan untuk dapat mengontrol diri dalam menggunakan sosial media agar terhindar dari brain rot.
Menggunakan sosial media untuk mengakses konten belajar dan berbobot lainnya akan lebih membantu dalam pencegahan penurunan kineja otak, terutama bagi anak-anak.