Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan Lembaga tertentu dalam RUU KUHAP: Ancaman bagi Keseimbangan Sistem Peradilan
- Palupi Ambarwati/ VIVA Banyuwangi
Jember, VIVA Banyuwangi –Kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan akibat pemberian kewenangan berlebih kepada Lembaga tertentu dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali mencuat. Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. KH. M Noor Harisudin menegaskan bahwa tanpa perubahan signifikan, rancangan ini berisiko mengancam keseimbangan sistem peradilan.
Dalam seminar nasional bertajuk Kesetaraan Peran dan Kewenangan dalam RUU KUHAP yang digelar di UIN KHAS Jember, pada kamis ( 20/2) ,Prof. Haris menyoroti potensi Kejaksaan menjadi lembaga super body yang tidak terkendali.
“Jika RUU KUHAP disahkan tanpa perubahan substansial, kita akan kehilangan check and balance. Jaksa berisiko menjadi lembaga yang tak terkendali dan rawan penyimpangan,” tegasnya.
Ia juga memperingatkan bahwa ketimpangan kewenangan dapat memicu konflik di antara aparat penegak hukum (APH). “Jika kewenangan terpusat hanya pada satu lembaga, penyalahgunaan kekuasaan menjadi sangat mungkin. Kita sudah melihat banyak kasus penyimpangan di kalangan polisi, jaksa, hakim, hingga advokat,” tambahnya.
Selain itu, ia membandingkan sistem peradilan di Indonesia dengan Belanda, yang memiliki populasi lebih kecil dan sistem hukum yang berbeda. “Indonesia memiliki lebih dari 280 juta penduduk. Jika sistem hukum yang menempatkan jaksa sebagai pihak dominan diterapkan, justru akan membahayakan,” jelasnya.
Prof. Haris juga mengkritik sentralisasi pengendalian perkara yang diusulkan dalam RUU KUHAP. Menurutnya, hal ini bisa memperlambat proses hukum, terutama di daerah.
“Jika kontrol terpusat di Jakarta, bagaimana dengan perkara di daerah? Proses hukum bisa terhambat, dan ini akan menambah ketidakpastian hukum,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kesiapan Kejaksaan dalam menghadapi peningkatan kewenangan. Dengan banyaknya kasus yang menumpuk, ia meragukan apakah Kejaksaan memiliki sumber daya manusia (SDM) yang cukup.
“Apakah Kejaksaan mampu merekrut SDM dengan cepat? Saya pikir ini tidak rasional, mengingat jumlah jaksa yang ada saat ini masih terbatas,” katanya.
Untuk mengatasi masalah ini, ia mengusulkan peningkatan kualitas pendidikan bagi penyidik Kepolisian serta batas waktu yang jelas dalam penyelesaian perkara. “Misalnya, 14 hari untuk kasus ringan dan maksimal dua bulan untuk kasus yang lebih kompleks. Jangan sampai kasus berlarut-larut tanpa kejelasan,” imbuhnya.
Senada dengan Prof. Haris, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Prof. Dr. M. Arief Amrullah, juga mengkritisi ketimpangan kewenangan dalam RUU KUHAP.
Menurutnya, konsep dominus litis yang diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum tidak boleh diartikan sebagai dominasi satu lembaga terhadap yang lain.
“Kewenangan penyidikan ada pada Kepolisian, sementara kewenangan penuntutan ada pada Kejaksaan. Jangan sampai RKUHAP membuat satu lembaga lebih tinggi dari yang lain,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam pembahasan RUU ini agar masyarakat dapat mengkritisi aturan yang berpotensi menimbulkan ketimpangan.
“Jika aturan ini tidak dibuka untuk dialog publik, bisa saja timbul ketidaksetaraan yang mengarah pada penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Prof. Arief menegaskan perlunya harmonisasi antara RUU KUHAP dengan Undang-Undang Kejaksaan dan Undang-Undang Kepolisian agar tidak terjadi tumpang tindih aturan yang berpotensi melemahkan sistem peradilan.
Dengan berbagai permasalahan yang diungkapkan, Prof. Haris menekankan bahwa revisi KUHAP harus dilakukan dengan cermat.
“Revisi KUHAP harus memperbaiki sistem yang ada, bukan membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar,” pungkasnya.
Polemik mengenai RUU KUHAP ini semakin menguat, dan diharapkan pemerintah serta DPR dapat mempertimbangkan kembali masukan dari berbagai pihak sebelum mengesahkannya.