Kritik Meluas Terhadap DPR: Peringatan Darurat Viral di Media Sosial
- Screen Shot Sosmed/ VIVA Banyuwangi
Jakarta,VIVA Banyuwangi –Gambar peringatan darurat mulai viral di media sosial sebagai respons dari keputusan DPR RI yang menolak untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Beragam unggahan dengan lambang Burung Garuda berlatar belakang biru dongker kini memenuhi linimasa.
Simbol tersebut menjadi bentuk perlawanan terhadap keputusan DPR dan Pemerintah yang dinilai mengabaikan kepentingan publik.
Aksi ini pertama kali muncul dari sejumlah akun populer di media sosial seperti @narasinewsroom, @najwashihab, @matanajwa, dan @narasi.tv.
Mereka membagikan gambar tersebut tanpa disertai penjelasan tertulis, hanya menambahkan kalimat "Peringatan Darurat" di atas gambar Burung Garuda.
Tak lama, gerakan ini meluas dan diikuti oleh berbagai tokoh masyarakat serta pengguna media sosial lainnya.
Sejumlah selebritas turut meramaikan aksi ini.
Komika Pandji Pragiwaksono, melalui akun Instagram dan X miliknya, juga memasang gambar yang sama.
Pandji bahkan menambahkan keterangan, “Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan. Presidennnya Gemoy, Pemerintahnya Goyang,” yang mencerminkan kekecewaannya terhadap situasi politik saat ini.
Senada dengan Pandji, komika Bintang Emon dan sutradara film Joko Anwar juga ikut mengunggah gambar peringatan darurat tersebut di akun Instagram mereka.
Selain selebritas, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, turut menyuarakan kritiknya dengan mengunggah gambar serupa di akun X.
Gerakan ini mencuat setelah DPR RI dan Pemerintah memutuskan untuk tidak mengakomodasi dua putusan penting Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Kedua putusan tersebut dianggap vital dalam mengatur pelaksanaan Pilkada 2024, khususnya dalam meminimalisir kemungkinan adanya calon tunggal dan memudahkan partai politik baru untuk mencalonkan kandidatnya.
Putusan juga berimplikasi pada pencalonan Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, yang dapat mempengaruhi dinamika politik di Pilkada mendatang.
Di tengah pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada oleh Panitia Kerja (Panja) DPR RI, para legislator secara cepat menyetujui draf RUU Pilkada tanpa mengakomodasi putusan MK tersebut.
Sebaliknya, mereka merujuk pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024, yang menetapkan batas usia minimal calon kepala daerah berdasarkan tanggal pelantikan, bukan tanggal penetapan calon.
Putusan ini memicu kontroversi karena dinilai membuka jalan bagi Kaesang yang baru akan berusia 30 tahun pada Desember 2024, atau empat bulan setelah masa pendaftaran calon kepala daerah dibuka.
Polemik semakin mencuat saat dalam rapat Panja RUU Pilkada, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Achmad Baidowi, memastikan bahwa Panja menyetujui rumusan usia minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota.
Usia tersebut dihitung sejak pelantikan pasangan terpilih, sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung.
“Setuju ya merujuk pada putusan Mahkamah Agung, ya? Lanjut?” ujar Achmad Baidowi saat memimpin rapat di kompleks parlemen DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat pada 21 Agustus 2024.
Keputusan DPR yang seolah melangkahi putusan MK ini menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat.
Banyak pihak menilai bahwa keputusan tersebut bukan hanya mencederai demokrasi, tetapi juga mengundang pertanyaan mengenai integritas dan independensi lembaga legislatif.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang diabaikan oleh DPR, sebenarnya membawa perubahan penting dalam syarat pencalonan kepala daerah.
Melalui putusan ini, partai politik atau gabungan partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tetap diberikan kesempatan untuk mencalonkan kandidatnya selama memenuhi syarat perolehan suara yang telah ditentukan.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memperluas partisipasi politik, terutama bagi partai-partai baru yang belum memiliki kursi di parlemen.
Namun, dalam draf RUU Pilkada yang disepakati oleh Panja DPR, syarat ini hanya berlaku bagi partai yang tidak memiliki kursi di DPRD.
Sementara itu, partai yang memiliki kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat lama, yaitu 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah dalam pemilu anggota DPRD.
Dengan rumusan tersebut, PDIP dan Anies Baswedan yang diprediksi akan maju di Pilkada Jakarta, terancam tidak bisa mengikuti Pilkada.