Sejarah dan Makna Kirab Kebo Bule, Tradisi Yang Diadakan Di Keraton Surakarta
- https://unsplash.com/photos/people-walking-on-street-cDFv7RB3oTo
Tradisi, VIVA Banyuwangi – Kirab kebo bule di Keraton Kasunanan Surakarta dimulai pada masa pemerintahan Presiden Soeharto untuk memeriahkan Tahun Baru Jawa dan Tahun Baru Islam. Pada malam satu suro, para abdi dalem dan keluarga keraton berjalan keliling komplek istana dengan memakai kebaya dan beskap serba hitam. Dalam iring-iringan kirab itu dipimpin oleh berapa kerbau albino atau yang dikenal dengan kebo bule.
Kebo putih yang dijadikan cucuk lumpah atau pengawal kirab bukanlah hewan sembarangan. Kerbau ini adalah keturunan klangenan Kyai Slamet (hewan peliharaan) Sultan Pakubuwono II. Kebo Bule merupakan persembahan Bupati Ponorogo, Kyai Hasan Besari Tegalsari, diberikan untuk Pakubuwono II. Hewan itu diberikan yaitu sebagai hadiah karena sang sultan berhasil merebut kembali Keraton Kartasura dari tangan pemberontak Pecinan.
Kebo bule di Keraton Surakarta merupakan hewan istimewa yang dijadikan pengawal atau cucuk lampah pada kirab malam Satu Suro. Sebagian masyarakat Solo percaya bahwa kebo bule memiliki kekuatan magis dan dapat mendatangkan keberkahan. Itu mengapa orang-orang rela berdesakan untuk mengambil kotoran hewan itu sebagai jimat tolak bala. Itu adalah maknanya.
Prosesi kirab ini dimulai dengan upacara di dalam keraton dan kemudian diarak mengelilingi kompleks keraton dan beberapa jalan utama di kota Solo. Masyarakat dari berbagai kalangan ikut serta dan menyaksikan kirab ini, menunjukkan adanya rasa kebersamaan dan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka.
Sedangkan dari pihak keraton menyatakan bahwa adanya pemahaman yang keliru dalam memaknai kirab kebo bule. Pasalnya, kebo bule tidak memiliki kekuatan mistis sebagaimana yang diyakini beberapa orang. Kebo bule dipakai sebagai simbol kekuatan masyarakat Jawa yang mayoritas bekerja sebagai petani. Tidak hanya kerbau putih, makna simbolis ini juga berlaku untuk kerbau pada umumnya.
Tradisi kirab kebo bule juga menjadi simbol harapan agar masyarakat mendapat kemakmuran, keselamatan, dan kesejahteraan di tahun berikutnya. Kirab diawali dengan doa-doa dan penebaran sesajen di dengan Kori Kamdandungan oleh para abdi dalem keraton sambil menanti datangnya kebo bule. Kerbau-kerbau keramat itu akan dilepas dan dibiarkan berjalan sendiri. Tidak boleh ada paksaan pada kerbau. Setelah itu raja dan keturunannya, beserta abdi dalem, akan mengikuti di belakang kerbau dengan barisan yang rapi. Tidak lupa pembesar keraton lain yang berjumlah 10 orang turut mengiringi sembari membawa pusaka.
Hingga saat ini, tradisi malam Satu Suro selalu dirayakan oleh masyarakat Jawa setiap tahunnya. Satu Suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelumnya. Hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam. Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam Satu Suro.