Mengapa Malam Satu Suro Identik dengan Horor? Kamu Wajib Tahu, Ini Jawabannya

Malam 1 Suro yang Disalahartikan sebagai Malam Mistis
Sumber :
  • https://www.pexels.com/photo/grayscale-photo-of-mosque-717981/

Budaya, VIVA Banyuwangi – Kesan mistis, horor dan angker selalu muncul di pikiran sebagian orang ketika menyebut malam satu Suro. Di masyarakat Jawa, kesan ini semakin kuat di medio 1990-an saat banyak industri perfilman memproduksi sinema horor. Bukan tanpa sebab konsepsi ini muncul. Jawabannya ada di masa lampau saat peristiwa penyatuan kalender Jawa Saka dan Hijriyah Islam.

Mengenal Sasando, Alat Musik Tradisional dari Pulau Rote Nusa Tenggara Timur

Cek Produk Rekomendasi Kami
VCD Malam Satu Suro /Suzzanna (Mulus)

VCD Malam Satu Suro /Suzzanna (Mulus)

Mulai dari

Rp.50.000

Malam Satu Suro atau penamaan bulan Suro mulanya berasal dari perkenalan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Pada tahun 931 Hijriah atau 1443 Saka, tepatnya di zaman pemerintahan Kerajaan Demak, Sunan Giri menggagas penyesuaian antara sistem kalender Hijriah Islam dengan sistem kalender Jawa.

Mengenal Alat Musik Rebana, Warisan Budaya Bernuansa Islami

Penetapan satu Suro atau satu Muharram sebagai awal tahun baru Jawa baru dilakukan sejak zaman Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Sebelumnya, masyarakat Jawa mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu. Hanya saja, sejak Kesultanan Mataram Islam berdiri, sistem kalender Hijriyah lazim sudah digunakan dalam penanggalan keraton.

Sultan Agung Hanyokrokusumo menetapkan satu Suro sebagai tanda awal tahun baru Jawa pada tahun 1663 M atau 1555 Saka. Penyatuan Kalender Hijriyah dan Jawa ini dimulai pada Jumat Legi, bulan Jumadil Akhir, tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 M.

Candi Penataran, Warisan Majapahit yang Nyaris Terlupakan di Lereng Gunung Kelud

Tujuan dari penyatuan sistem penanggalan ini adalah untuk mempersatukan rakyat Mataram yang akan menggempur Batavia. Sultan Agung tidak ingin rakyat Mataram dan Jawa pada umumnya, terpecah belah karena perbedaan keyakinan agama. Di sisi lain, Sultan Agung juga ingin menyatukan kaum santri dan abangan di wilayah Mataram Islam.

Setelah itu, setiap hari Jumat Legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sembari pengajian oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur  ke makam Ampel dan Giri.

Halaman Selanjutnya
img_title