Tradisi Malam Satu Suro, Spiritualitas Tahun Baru Jawa yang Penuh Makna
- https://www.kratonjogja.id/peristiwa/1327-antusias-ribuan-masyarakat-ikuti-gelaran-mubeng-beteng-peringati-1-sura-je-1958/
Budaya, VIVA Banyuwangi – Di tengah kemeriahan tahun baru masehi yang identik dengan pesta kembang api, masyarakat Jawa memiliki cara unik menyambut pergantian tahun: hening, penuh kontemplasi, dan sarat nilai spiritual. Tradisi malam Satu Suro menjadi momen sakral yang mengajak setiap insan untuk merefleksikan diri, membersihkan jiwa, dan menyatu dengan semesta dalam keheningan.
Satu Suro adalah hari pertama dalam bulan Suro menurut penanggalan Jawa, yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah. Tradisi ini lahir sejak era Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram Islam, yang menggabungkan sistem kalender Islam dengan budaya lokal. Suro menjadi bulan penuh kesakralan, dijalani bukan dengan hura-hura, tetapi dengan laku prihatin menahan diri, berdoa, dan melakukan ritual spiritual.
Alih-alih pesta, masyarakat Jawa memilih jalan sunyi. Di berbagai daerah, terutama di Yogyakarta dan Surakarta, malam Satu Suro diperingati dengan tradisi budaya yang sarat makna.
Jamasan Pusaka menjadi salah satu ritual penting dalam menyambut Malam 1 Suro, khususnya di Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Dalam upacara ini, benda-benda pusaka seperti keris, kereta kencana, hingga gamelan dibersihkan dengan air bunga dan doa-doa khusus. Proses pencucian ini dilakukan dengan penuh khidmat, sebagai bentuk penyucian lahir dan batin sekaligus penghormatan terhadap warisan leluhur.
Ritual yang paling dikenal luas adalah Topo Bisu Mubeng Beteng, sebuah prosesi diam yang diikuti ribuan orang. Mereka berjalan kaki tanpa alas dan tanpa mengucap sepatah kata pun, mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta sejauh kurang lebih 4 kilometer. Dalam hening dan langkah perlahan, para peserta merenungi perjalanan hidup, memohon keselamatan, dan menyambut tahun baru Jawa dengan hati yang bersih.