LSM LBSI : Sekolah Itu Pakai LKS Yang Disesuaikan Dengan Kemampuan Siswa Saja
- Achmad Fuad Afdlol/viva banyuwangi
Lumajang, VIVA Banyuwangi - Mengapa masih banyak sekolah yang memakai Lembar Kerja Siswa (LKS), di wilayah Kabupaten Lumajang, padahal kualitas soal dan latihan di dalamnya sangat rendah dan sering tidak sesuai dengan kemampuan siswa di sekolah.
Kenapa tenaga pengajar tidak membuat LKS sendiri? Apakah benar banyak oknum pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lumajang, guru sekolah atau Kepala Sekolah yang mengambil keuntungan dari penjualan buku dan LKS siswa sekolah tersebut?
Dari data yang dikumpulkan Lembaga Swadaya Masyarakat Lumajang Bergerak Satu Indonesia (LSM LBSI) Kabupaten Lumajang, banyak sekolah yang masih menggunakan LKS, karena ada pelajaran yang membutuhkan LKS hanya untuk variasi soal saja.
“Ada pula yang karena gurunya malas mengajar, jadi LKS adalah cara agar siswa mendapat nilai, meskipun soal di LKS nya tak berkualitas, tak ada jawaban, atau jawaban dibuku kunci LKS yang dipegang guru salah,” ujar Ketua LSM LBSI Kabupaten Lumajang, H Romli Efendi kepada media ini, Rabu (6/9/2023) siang tadi.
Selain itu, menurut H Romli, ada yang hanya untuk tambahan nilai, dan ada juga menyuruh membeli agar mendapat uang dari penjualan LKS, dan masih banyak alasan-alasan lainnya.
“Sebagai wali murid, menurut saya LKS itu hanyalah untuk variasi saja, jangan digunakan sebagai dasar mengajar, karena guru yang mengajar muridnya lebih mengetahui kemampuan muridnya dari pada penerbit,” jelasnya lagi.
Yang jelas, dikatakan mantan Anggota DPRD Kabupaten Lumajang ini, dengan membayar uang LKS memang bukan langsung kepada guru, namun tidak mungkin tidak mendapat uang dari hasil penjualan LKS nya.
“Saya mungkin terlalu negatif thinking. Perusahaan LKS mendistribusikan LKS nya ke sekolah juga tidak mungkin tidak ada "pembicaraan" terlebih dahulu bukan? LKS yang menurutku penting ya tidak masalah, namun yang tidak penting ya merugikan. Mendingan LKS dibuat oleh guru sendiri sesuai dengan kemampuan anak didiknya,” tambahnya.
Sampai hari ini, masih ada temuan penjualan LKS di Kecamatan Tempeh, yang dijual melalui paguyuban sekolah, melalui warung atau toko buku. Dan yang lebih parah lagi adanya penjualan buku tematik ke sekolah, yang nota bene itu sudah ada dari pemerintah.
“Saya membeli dengan harga Rp 120 ribu per buku tematik, kenapa masih saja membeli buku? Padahal pemerintah sudah menyiapkan buku tematik yang dipinjam pakaikan kepada siswa siswi,” ungkap singkat salah seorang wali murid yang namanya enggan disebutkan.