Prof. Ibnu Sina: RUU KUHAP Harus Jadi Instrumen Perlindungan bagi yang Tidak Bersalah
- Palupi Ambarwati/ VIVA Banyuwangi
Jember, VIVA Banyuwangi –Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H., menegaskan bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah dibahas merupakan momentum penting untuk melakukan koreksi besar terhadap sistem peradilan pidana Indonesia yang dinilainya masih terlalu berorientasi pada penghukuman (retributif).
Hal ini disampaikannya dalam Seminar Nasional bertajuk “Paradigma Baru Sistem Peradilan Pidana dalam Rangka Penguatan Masyarakat Sipil” yang digelar di Aula Zaenuri, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember, Kamis (8/5).
Dalam pemaparannya yang berjudul “Melindungi yang Tidak Bersalah”, Prof. Ibnu menyoroti bahwa sistem hukum acara pidana saat ini lebih menitikberatkan pada pemidanaan, tanpa memberikan ruang yang memadai bagi pemulihan sosial baik terhadap korban maupun pelaku. “Pidana masih dilihat sebagai hukuman semata, bukan sebagai upaya mengembalikan keseimbangan sosial. Korban tidak dilihat sebagai subjek, tapi hanya alat bukti,” ujarnya.
Seminar Nasional Paradigma Baru Sistem Peradilan Pidana
- Palupi Ambarwati/ VIVA Banyuwangi
Ia mengkritisi dominasi pendekatan nullum crimen sine poena (tidak ada kejahatan tanpa hukuman) yang menjadikan hukuman sebagai tujuan utama dari sistem peradilan. Akibatnya, hak-hak korban, integrasi sosial pelaku, dan peran masyarakat sipil terabaikan.
Prof. Ibnu menyerukan adanya pergeseran paradigma ke arah yang lebih restoratif dan resosialisatif. “Kalau kita tetap fokus pada penghukuman, kita akan terus mengabaikan potensi reintegrasi sosial pelaku dan pemulihan korban. KUHAP baru harus menjadi landasan bagi pendekatan yang lebih manusiawi dan partisipatif,” tegasnya.
Salah satu isu krusial yang ia soroti adalah ketimpangan relasi antar aparat penegak hukum. Ia menilai bahwa KUHAP saat ini belum menjamin prinsip equality of arms—kesetaraan antara polisi, jaksa, advokat, dan hakim. Menurutnya, dominasi penyidik dan jaksa serta keterbatasan akses pembela terhadap bukti menjadi persoalan mendasar yang harus dibenahi.