Kerajaan Macan Putih Antara Legenda dan Jejak Sejarah di Gunung Raung

Reruntuhan candi di Matjan-Poetih Tahun 1852
Sumber :
  • Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen

Simbolisme ini terus hidup dalam kepercayaan masyarakat sekitar. Macan putih dianggap sebagai penjaga tak kasat mata yang masih mengawasi kawasan tersebut hingga kini. Kepercayaan ini juga sering tercermin dalam upacara adat dan ritual yang masih dijalankan oleh masyarakat setempat sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur (Huda, 2016).

Kaitan dengan Penyebaran Agama Hindu

Kerajaan Macan Putih memiliki kaitan erat dengan sejarah penyebaran agama Hindu di Jawa Timur. Rsi Markandeya, seorang tokoh spiritual Hindu, diyakini pernah bermeditasi di kawasan Gunung Raung sebelum melanjutkan perjalanannya ke Bali untuk mendirikan Pura Besakih.

Meditasi Rsi Markandeya di kawasan ini menunjukkan bahwa Gunung Raung bukan hanya sekadar lokasi geografis, tetapi juga pusat kegiatan spiritual yang penting. Situs Macan Putih kemungkinan menjadi salah satu tempat yang digunakan untuk ritual pemujaan dan meditasi oleh tokoh-tokoh agama pada masa itu. Hal ini memperkuat dugaan bahwa kawasan ini tidak hanya penting dari segi politik dan ekonomi, tetapi juga dari segi spiritual dan religius.

Pengaruh Hindu di kawasan ini juga terlihat dari temuan artefak dan struktur yang memiliki kemiripan dengan situs Hindu di tempat lain di Jawa dan Bali. Ini menegaskan pentingnya peran Kerajaan Macan Putih dalam jaringan penyebaran agama Hindu di Nusantara.

Penelusuran oleh Kolonial Belanda

Pada masa kolonial Belanda, kawasan Gunung Raung dan situs Kerajaan Macan Putih sempat menarik perhatian para peneliti dan penjelajah Eropa. Catatan-catatan dari arsip kolonial menyebutkan bahwa ekspedisi Belanda pada abad ke-19 menemukan beberapa struktur bata kuno serta artefak yang dianggap sebagai peninggalan kerajaan kuno. Peneliti Belanda tertarik pada kombinasi legenda lokal dan temuan arkeologis yang mengindikasikan adanya pusat kekuasaan yang kuat di kawasan tersebut (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1866).