Soeharto Pernah Dibohongi Atasannya Sendiri Saat Masih Menjadi Tentara
- Galamedia News
Sejarah, VIVA Banyuwangi –Pada tahun 1946, Soeharto yang kala itu berpangkat Letnan Kolonel menjabat sebagai Komandan Resimen III di kota Yogyakarta.
Dalam buku biografi 'Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya' oleh Ramadhan K. H., dijelaskan bahwa pada tahun tersebut sedang terjadi konflik kepentingan politik di kalangan para pejabat tinggi negara.
Pada suatu hari di markasnya, Soeharto kedatangan seseorang bernama Sundjojo yang mengaku sebagai utusan dari Istana Negara yang membawakannya sebuah surat.
Surat tersebut berisi perintah kepada Soeharto untuk menangkap Mayor Jenderal Sudarsono yang dicurigai terlibat dalam rencana perebutan kekuasaan.
Sudarsono sendiri merupakan Panglima yang membawahi Soeharto. Soeharto yang mendengar perintah tersebut terkejut dan lantas segera menolaknya.
"Di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti tertulis?" tanya Soeharto.
Akhirnya Soeharto memutuskan mengembalikan surat tersebut, dan dia meminta agar diberikan kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman saja.
Akibat keputusannya tersebut, Soeharto kemudian dijuluki oleh Presiden Soekarno sebagai 'Opsir Koppig' (Opsir keras kepala).
Kemudian, setelah itu Soeharto melapor kepada Mayor Jenderal Sudarsono, namun tidak memberitahukan kepadanya soal surat perintah penangkapan dirinya tersebut.
Menjelang magrib, Sudarsono datang ke markas Soeharto dan memberitahukan bahwa dia disuruh menghadap Panglima Besar Soedirman.
Soeharto pun segera memberikan satu peleton pasukan pengawal untuk mengawal Mayor Jenderal Sudarsono.
Kemudian, Jenderal Soedirman menelepon dan memerintahkan Soeharto agar menyampaikan kepada Sudarsono agar tetap berada di markas Resimen III Wiyoro, yang merupakan markas Soeharto.
Namun, Sudarsono sudah keburu pergi dan Soeharto melaporkannya kepada Jenderal Soedirman.
Pada tengah malam, Sudarsono kembali datang ke markas Soeharto namun kali ini dengan membawa rombongan.
Rombongan tersebut terdiri dari para pemimpin politik yang menjadi tahanan politik di Rumah Tahanan Wirogunan.
Sudarsono pun memberitahukan kepada Soeharto bahwa dia diberikan kuasa oleh Jenderal Soedirman untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Negara.
Soeharto pun terkejut karena pada saat itu juga dia tahu bahwa dia sudah ditipu oleh Panglimanya tersebut.
"Wah, keterlaluan Panglima saya ini, dikira saya tidak mengetahui persoalannya," pikir Soeharto.
"Saya mau dibohongi. Tidak ada jalan lain, selain balas membohongi dia," ujar Soeharto dalam hatinya.
Pada malam tersebut itu juga, Soeharto segera memberitahukan kepada pihak Istana apa yang akan terjadi pada esok harinya.
Soeharto pun menyatakan mempersilahkan untuk menangkap sendiri Sudarsono kepada pihak Istana dan dia menjamin di luar Istana tidak akan terjadi apa-apa.
Pada tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jenderal Sudarsono pergi bersama rombongannya berangkat ke Istana.
Namun, setibanya mereka di Istana, mereka langsung ditangkap oleh Pasukan Pengawal Presiden.
Peristiwa inilah yang di kemudian hari dikenal dalam sejarah sebagai 'Peristiwa 3 Juli 1946'.