Prof. M. Arief Amrullah: RKUHAP Harus Jadi Solusi, Bukan Tambah Masalah Baru
- Palupi Ambarwati/ VIVA Banyuwangi
Jember, VIVA Banyuwangi –Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) terus menjadi perhatian serius di kalangan praktisi dan akademisi hukum. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Prof. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum., menyoroti pentingnya reformasi hukum yang mengedepankan keseimbangan kewenangan antar penegak hukum untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih efektif, transparan, dan berkeadilan.
"Keseimbangan kewenangan antarpenegak hukum harus diwujudkan untuk mencegah tumpang tindih kewenangan. RKUHAP harus menjadi solusi, bukan menambah masalah baru," ujar Prof. Arief. Menurutnya, ketimpangan kewenangan yang terlihat dalam beberapa pasal draf RKUHAP berpotensi menimbulkan permasalahan sistemik yang dapat menghambat proses penegakan hukum.
Soroti Ketimpangan Wewenang
Prof. Arief menyoroti sejumlah isu krusial dalam draf RKUHAP yang dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan dan transparansi hukum. Salah satunya adalah kewenangan berlebihan yang diberikan kepada jaksa sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Kejaksaan.
"Aturan seperti izin khusus dari Jaksa Agung untuk memanggil atau memeriksa jaksa bisa memberikan kesan bahwa institusi kejaksaan memiliki kekebalan hukum tertentu. Hal ini merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum," jelasnya.
Ia juga menyoroti rencana pemberian kewenangan penggunaan senjata api oleh jaksa yang tertuang dalam Pasal 8B UU Kejaksaan. "Penggunaan senjata api tanpa pelatihan khusus bisa memunculkan potensi penyalahgunaan. Ini harus dipertimbangkan ulang," tegasnya.
Selain itu, kewenangan penyadapan dan intelijen yang diatur dalam Pasal 30B dan 30C dinilai rentan disalahgunakan tanpa pengawasan independen. "Penyadapan adalah tindakan yang menyentuh privasi individu. Jika tidak ada pengawasan ketat, ini berpotensi melanggar hak asasi manusia," tambahnya.
Reformasi Sistem Prapenuntutan
Dalam pembahasan RKUHAP, Prof. Arief menekankan pentingnya reformasi pada tahap prapenuntutan untuk memastikan proses hukum yang lebih efisien dan efektif. "Prapenuntutan seharusnya menjadi tahap koordinasi antara penyidik dan jaksa, bukan menimbulkan ketidakpastian hukum dan birokrasi berbelit," katanya.
Ia mengusulkan integrasi teknologi informasi dalam proses penyidikan dan prapenuntutan untuk menciptakan kolaborasi yang lebih baik. "Misalnya, dengan penggunaan sistem online, penyidik dan penuntut umum dapat berkomunikasi secara langsung selama proses penyidikan. Ini akan mengurangi bolak-balik pemeriksaan berkas perkara," paparnya.
Dominuslitis dan Kesetaraan Penegak Hukum
Prof. Arief juga menyoroti prinsip dominuslitis yang memberikan jaksa kewenangan penuh atas perkara. "Prinsip dominuslitis harus dimaknai dalam semangat kesetaraan. Jaksa tidak boleh dianggap lebih tinggi daripada penegak hukum lainnya," tandasnya.
Ia berharap pembahasan RKUHAP menjadi momentum untuk memperbaiki sistem hukum acara pidana di Indonesia. "Reformasi hukum yang komprehensif harus mampu menjawab permasalahan yang ada dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana," pungkasnya.