Melestarikan Tradisi Makepung Lampit di Jembrana, Antara Budaya dan Pertanian

Melestarikan Tradisi Makepung Lampit di Jembrana
Sumber :
  • I Nyoman Sudika

Wisata, VIVA Banyuwangi –Sebagai daerah agraris, Kabupaten Jembrana di Bali memiliki kekayaan seni budaya yang tak terpisahkan dari kegiatan pertanian.

Pesona Budaya Bener Meriah, Warisan Leluhur yang Mendunia

Atraksi yang paling dikenal adalah balap kerbau, yang di Jembrana dikenal dengan sebutan Makepung.

Tradisi ini telah berlangsung selama berabad-abad, menjadi bagian penting dari identitas masyarakat setempat.

Menjelajahi Keindahan Pakaian Adat Aceh Utara yang Memukau

Dalam tradisi Makepung, terdapat dua jenis atraksi yang umum dilakukan oleh para petani: Makepung Di Darat (makepung beduran) dan Makepung Lampit, yang dilaksanakan di tengah sawah.

Pada artikel ini, kita akan fokus pada Makepung Lampit, yang memiliki sejarah dan makna mendalam terkait dengan pengolahan lahan pertanian.

Sejarah dan Asal Usul Makepung Lampit

Tradisi, Tari, Budaya, dan Ritual Unik di Aceh Utara

Dari penuturan I Made Mara, Koordinator Makepung di Jembrana, Makepung Lampit memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan kegiatan membajak sawah.

Pada zaman dahulu, para leluhur masyarakat Jembrana menerapkan prinsip gotong royong dalam setiap aktivitas, termasuk dalam proses membajak sawah.

Dengan menggunakan peralatan tradisional dan ditarik sepasang kerbau, para petani berbaris membajak tanah, dari mulai membalik tanah hingga meratakan dengan alat yang dikenal sebagai lampit.

Mara menjelaskan, "Awalnya, kegiatan ini tidak dilombakan. Namun, seiring waktu, para petani mulai berpikir untuk mengemas aktivitas tersebut menjadi sebuah seni budaya yang menarik.

Dari situlah muncul tradisi Makepung Lampit." Kini, atraksi ini tidak hanya sekadar kegiatan pertanian, tetapi juga menjadi simbol seni dan budaya yang kaya di Jembrana.

Alat dan Pelaksanaan Perlombaan

Dalam pelaksanaan Makepung Lampit, alat yang digunakan sangat berbeda dengan Makepung Beduran.

Sementara Makepung Beduran memanfaatkan kereta, Makepung Lampit menggunakan lampit yang dihubungkan dengan sepasang kerbau.

Posisi joki pun disesuaikan dengan cara petani membajak sawah, sehingga menambah keaslian dan keunikan atraksi ini.

Hiasan juga menjadi elemen penting dalam Makepung Lampit. Joki dan kerbau dihias dengan ornamen tradisional Bali, menciptakan suasana yang lebih meriah dan menggugah rasa seni budaya.

"Bagian kepala kerbau biasanya ditambahkan gelungan, sedangkan joki mengenakan udeng (ikat kepala khas Bali)," ungkap Mara.

Proses Perlombaan Makepung Lampit

Sistem perlombaan Makepung Lampit dilakukan di sawah yang menjadi sirkuit.

Syarat utamanya adalah lahan sawah yang berair dan tanah yang gembur, ideal untuk kegiatan perlombaan.

Dalam setiap perlombaan, setiap pasangan kerbau bersaing untuk mencapai garis finish lebih dulu.

Namun, kecepatan bukan satu-satunya kriteria penilaian; arah lari kerbau juga menjadi faktor penting.

Pasangan kerbau harus berjalan lurus, tanpa memotong lintasan lawan. "Jika terbukti mencuri start atau melanggar aturan, mereka akan didiskualifikasi," tegas Mara.

Satu kali pelepasan dapat diikuti oleh dua hingga empat pasang kerbau, dan setiap pemenang akan bertanding kembali di babak selanjutnya hingga ditemukan pasangan tercepat di antara semua peserta.

Tantangan dalam Melestarikan Tradisi

Meskipun Makepung Lampit masih dilestarikan hingga kini, para penggemar tradisi ini menghadapi sejumlah tantangan.

Menurut I Made Mara, salah satu kendala terbesar adalah ketersediaan sarana lampit yang semakin langka karena alat ini jarang digunakan untuk membajak sawah saat ini.

"Melatih kerbau agar dapat berlari lurus di dalam sirkuit persawahan juga sangat sulit," jelasnya.

Belum adanya sirkuit permanen khusus untuk Makepung Lampit juga menjadi masalah.

Hal ini menyulitkan para penggemar untuk melatih kerbau mereka secara rutin. "Kami berharap pemerintah dapat membantu menyediakan sirkuit permanen, tidak hanya untuk mempertahankan tradisi ini, tetapi juga untuk mendidik generasi muda tentang proses pertanian tradisional," kata Mara.

Harapan untuk Masa Depan

Masyarakat Jembrana berkomitmen untuk terus melestarikan Makepung Lampit, meskipun frekuensi kegiatannya hanya sekali setahun.

"Kita ingin menunjukkan bahwa tradisi ini bukan hanya sekadar perlombaan, tetapi juga bagian dari warisan budaya kita," tutup Mara.

Dengan berbagai upaya yang dilakukan, diharapkan Makepung Lampit akan tetap menjadi bagian integral dari budaya masyarakat Jembrana.

Melalui dukungan dan partisipasi aktif dari semua pihak, seni budaya ini diharapkan dapat terus hidup dan berkembang, memberikan warna pada kehidupan masyarakat setempat.