Bukan Hanya Osing! Menguak Keberagaman Bahasa Jawa di Banyuwangi Selatan
- Galang Adi Pradipta/ VIVA Banyuwangi
Selain itu berkaitan dengan Using secara masyarakat, pada tahun 1927, J.W. de Stoppelaar, seorang Controleur Afdeeling (camat pada masa sekarang) Banyuwangi, menggunakan istilah Balambangansche of Oesing-Javanen (Blambangan atau Jawa-Using) dalam laporannya untuk merujuk kepada kelompok etnis keturunan penduduk asli Blambangan, bekas kerajaan Hindu yang pernah eksis pada masa pasca Majapahit (abad 14-18 M).
Istilah Using sendiri bermakna "tidak" atau setara dengan ora dalam bahasa Jawa, menegaskan identitas mereka sebagai kelompok yang awalnya menolak pengaruh Islam. Berdasarkan diskusi saya dengan Mas Bayu Ari Wibowo, pengelola aktif Museum Blambangan, beliau mengungkapkan bahawa budaya orang Using/Osing banyak dipengaruhi tradisi Bali, sementara dialek mereka mengadopsi unsur Jawa Kuno, Kawi, Bali, dan Melayu.
Stoppelaar mengungkap temuan ini dalam artikelnya "Eenige aanteekeningen omtren Banjoewangi" (1926), yang juga menyebutkan rencana Profesor Hazeu untuk meneliti dialek Using lebih lanjut. Dialek ini tidak hanya digunakan oleh orang Jawa-Using tetapi juga oleh komunitas Madura di timur laut Banyuwangi, yang dapat menguasainya dengan baik.
Bahasa Using kemudian hari tidak hanya digunakan dalam komunikasi sehari-hari, tetapi juga dalam seni tradisional seperti Gandrung, Seblang, dan ritual adat seperti Barong Ider Bumi dan juga telah terkenal dalam seni hiburan terutama musik pada saat ini.
Pemerintah Banyuwangi bahkan menjadikan Bahasa Using sebagai salah satu warisan budaya yang dilestarikan melalui pengajaran di sekolah dan festival budaya.