Sejarah Tari Gandrung yang Menjadi Ikon dan Ciri Khas Banyuwangi
Mereka adalah para orang tua, janda, anak-anak yang yatim piatu. Beberapa ada yang memilih untuk menyingkir dan melarikan diri ke negeri lain seperti Mataram, Madura, Bali dan lainnya.
Sebagian dari mereka yang berhasil melarikan diri ke dalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang mereka alami. Sehingga udara pun tercemar oleh mayat-mayat yang membusuk hingga jarak yang cukup jauh.
Berkat munculnya gandrung, seni ini kemudian dimanfaatkan sebagai alat perjuangan yang setiap saat mengadakan pementasan dengan mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa rakyat yang hidup berpencar-pencar di pedesaan, di pedalaman maupun yang menetap di hutan.
Setelah gandrung datang menampilkan pentas tari, orang-orang yang menderita di hutan pun mulai ingin kembali ke kampung halamannya, mulai membentuk kehidupan baru atau ikut membabat hutan Tirta Arum dan kemudian tinggal di ibu kota baru yang dibangun atas prakarsa dari Mas Alit.
Setelah ibu kota baru selesai dibangun, ibu kota tersebut dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang telah di babad yaitu Tirta Arum.
Dari keterangan tersebut, maka terlihat jelas bahwa tujuan dari kelahiran kesenian tari gandrung ialah untuk menyelamatkan sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun lagi bumi Belambangan di sebelah timur yang telah hancur karena seruan Kompeni.
Menurut catatan sejarah, tari gandrung pertama kali ditarikan oleh para laki-laki yang berdandan seperti perempuan, sedangkan menurut laporan dari Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tari gandrung lanang adalah kendang.