Sejarah Tari Gandrung yang Menjadi Ikon dan Ciri Khas Banyuwangi
Pada masa tersebut, biola juga digunakan. Akan tetapi, gandrung laki-laki ini makin lama semakin hilang dari Banyuwangi tepatnya pada sekitar tahun 1890-an dan diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau laki-laki yang berdandan seperti perempuan.
Tari gandrung laki-laki pun benar-benar lenyap pada tahun 1914, usai penari terakhir laki-laki yaitu Marsan meninggal dunia. Menurut sejumlah sumber, kelahiran dari tari gandrung ditujukan sebagai hiburan semata, terutama bagi para pembabat hutan dan mengiringi upacara untuk meminta selamat karena proses pembabatan hutan yang angker.
Gandrung Perempuan Pertama
Gandrung perempuan, pertama kali dikenal dalam sejarah adalah gandrung semi, yaitu seorang anak kecil yang pada saat itu masih berusia sepuluh tahun di tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya oleh masyarakat, pada saat itu Semi menderita penyakit cukup parah.
Segala cara telah dilakukan, bahkan Semi datang ke dukun, namun Semi tetap tidak kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi bernama Mak Midhah pun bernazar, “kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Jika kamu sembuh, saya akan jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).
Setelah mengucapkan nazar tersebut, ternyata akhirnya Semi sembuh dari penyakitnya dan sesuai dengan sang ibu, mak Semi pun dijadikan sebagai Seblang dan memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh seorang perempuan.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi, lalu diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggung. Kesenian ini lalu semakin berkembang di daerah Banyuwangi yang lain dan kemudian menjadi ikon khas di daerah setempat.