Polemik Jilbab Paskibraka 2024: Gugatan Hukum dan Tuntutan Keadilan
- VIVA.co.id/ VIVA Banyuwangi
Solo, VIVA Banyuwangi –Polemik mengenai anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) tahun 2024 yang tidak diizinkan mengenakan jilbab selama prosesi pengukuhan telah memicu reaksi keras dari berbagai pihak.
Kejadian ini tidak hanya menjadi perbincangan publik, tetapi juga telah memasuki ranah hukum.
Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) bersama dengan Yayasan Megabintang mengajukan gugatan kepada Presiden Joko Widodo dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai bentuk protes terhadap kebijakan tersebut.
Arif Sahudi, Ketua LP3HI sekaligus Penggugat I dalam kasus ini, menyatakan bahwa keputusan untuk menggugat Presiden Jokowi dan BPIP didasarkan pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Menurutnya, aturan yang diterapkan dalam pengukuhan Paskibraka kali ini dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama yang dijamin oleh Undang-undang.
"Ini baru terjadi di era reformasi, dan kami melihat ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap mereka yang ingin menjalankan keyakinannya," ujar Arif dalam konferensi pers di Solo, Kamis 15 Agustus 2024.
Dalam gugatan yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri Solo dengan nomor perkara 172/Pdt.G/2024/PN Skt, Arif menyebut bahwa pengukuhan Paskibraka tanpa jilbab merupakan tindakan yang merugikan.
Arif menegaskan bahwa BPIP tidak secara eksplisit melarang penggunaan jilbab, tetapi dari format gambar yang ditampilkan pada upacara tersebut, tidak ada satu pun anggota yang berjilbab.
Hal ini, menurutnya, mengindikasikan adanya tekanan untuk tidak memakai jilbab selama acara berlangsung.
Lebih lanjut, Arif menjelaskan bahwa gugatan ini diajukan secara cepat agar bisa disidangkan sebelum peringatan Hari Kemerdekaan pada 17 Agustus 2024.
"Kami ingin memastikan bahwa upacara tahun ini bisa dilakukan dengan lebih inklusif, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, di mana anggota Paskibraka yang berjilbab diperbolehkan mengenakan jilbab mereka," tegasnya.
Tuntutan Hukum dan Kompensasi
Poin utama dalam gugatan ini adalah tuntutan agar Presiden Jokowi dan BPIP menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Dwi Nurdiansya Santoso, kuasa hukum penggugat, menambahkan bahwa pihaknya meminta agar permintaan maaf tersebut diumumkan di sepuluh media massa, baik televisi maupun media online.
"Kami menuntut agar kesalahan ini diakui secara publik, dan Presiden sebagai kepala negara bertanggung jawab atas tindakan yang melanggar HAM ini," ujar Dwi.
Selain itu, para penggugat juga menuntut kompensasi sebesar Rp 200 juta.
Dana tersebut, menurut mereka, akan digunakan untuk memulihkan kondisi psikologis anggota Paskibraka yang terpaksa melepas jilbabnya.
"Kerugian immateriil akibat pelanggaran ini tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, kami menuntut ganti rugi yang sepadan," jelas Dwi.
Dampak Sosial dan Tanggapan Publik
Polemik ini telah menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat luas.
Banyak yang menilai bahwa kejadian ini mencerminkan ketidaksesuaian antara kebijakan yang diterapkan dengan nilai-nilai Pancasila yang seharusnya dijunjung tinggi oleh BPIP.
"Jika kita ingin menegakkan toleransi dan keberagaman, maka tidak seharusnya ada paksaan yang melanggar hak asasi seseorang, terutama dalam hal menjalankan keyakinan agama," kata Arif.
Di sisi lain, beberapa pihak berpendapat bahwa aturan terkait seragam Paskibraka harus dihormati sebagai bagian dari disiplin nasionalisme.
Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan hak individu yang dijamin oleh konstitusi.
Perdebatan mengenai hal ini semakin memanas di media sosial, di mana tagar seperti #JilbabPaskibraka dan #PolemikPaskibraka2024 menjadi trending topik.