Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan Lembaga tertentu dalam RUU KUHAP: Ancaman bagi Keseimbangan Sistem Peradilan
- Palupi Ambarwati/ VIVA Banyuwangi
Ia juga menyoroti kesiapan Kejaksaan dalam menghadapi peningkatan kewenangan. Dengan banyaknya kasus yang menumpuk, ia meragukan apakah Kejaksaan memiliki sumber daya manusia (SDM) yang cukup.
“Apakah Kejaksaan mampu merekrut SDM dengan cepat? Saya pikir ini tidak rasional, mengingat jumlah jaksa yang ada saat ini masih terbatas,” katanya.
Untuk mengatasi masalah ini, ia mengusulkan peningkatan kualitas pendidikan bagi penyidik Kepolisian serta batas waktu yang jelas dalam penyelesaian perkara. “Misalnya, 14 hari untuk kasus ringan dan maksimal dua bulan untuk kasus yang lebih kompleks. Jangan sampai kasus berlarut-larut tanpa kejelasan,” imbuhnya.
Senada dengan Prof. Haris, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Prof. Dr. M. Arief Amrullah, juga mengkritisi ketimpangan kewenangan dalam RUU KUHAP.
Menurutnya, konsep dominus litis yang diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum tidak boleh diartikan sebagai dominasi satu lembaga terhadap yang lain.
“Kewenangan penyidikan ada pada Kepolisian, sementara kewenangan penuntutan ada pada Kejaksaan. Jangan sampai RKUHAP membuat satu lembaga lebih tinggi dari yang lain,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam pembahasan RUU ini agar masyarakat dapat mengkritisi aturan yang berpotensi menimbulkan ketimpangan.