RKUHAP Perkuat Dominasi Kejaksaan, Pakar Hukum Peringatkan Risiko Penyalahgunaan Wewenang
- Palupi Ambarwati/ VIVA Banyuwangi
Jember, VIVA Banyuwangi –Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah dibahas berpotensi membawa perubahan besar dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Salah satu poin krusial dalam rancangan ini adalah penguatan peran dominus litis pada Kejaksaan, yang memberi lembaga tersebut kontrol lebih besar dalam penyidikan, penuntutan, dan pengawasan terhadap aparat penegak hukum lainnya.
RKUHAP Perkuat Dominasi Kejaksaan
- Palupi Ambarwati/ VIVA Banyuwangi
Meski diharapkan dapat meningkatkan efektivitas hukum, kebijakan ini menuai kritik tajam. Dalam diskusi yang digelar di Universitas Muhammadiyah Jember, Kamis (27/2), pakar hukum tata negara Prof. Margarito Kamis menilai bahwa tanpa mekanisme pengawasan ketat, kewenangan besar yang diberikan kepada Kejaksaan dapat berujung pada penyalahgunaan wewenang dan impunitas.
“Dominus litis ini berpotensi menciptakan masalah baru. Jika pengawasan tidak diperkuat, kita justru akan menciptakan ‘monster’ baru dalam sistem peradilan,” tegas Prof. Margarito.
RKUHAP Perkuat Dominasi Kejaksaan
- Palupi Ambarwati/ VIVA Banyuwangi
Dalam diskusi tersebut, Mahrus Sholih, salah satu peserta, mempertanyakan kemungkinan terjadinya jual beli status tahanan di Kejaksaan akibat kewenangan yang terlalu dominan. Menanggapi hal ini, Prof. Margarito tidak menampik kemungkinan tersebut, terutama karena batas waktu penyelidikan bagi Kepolisian yang hanya 14 hari dianggap tidak realistis.
“14 hari untuk penyelidikan itu omong kosong. Harus dibicarakan dengan serius,” tegasnya.
RKUHAP Perkuat Dominasi Kejaksaan
- Palupi Ambarwati/ VIVA Banyuwangi
Menurutnya, pembatasan waktu yang ketat tanpa fleksibilitas yang cukup dapat membuka ruang bagi manipulasi hukum dan memperlemah peran Kepolisian dalam proses penyelidikan.
RKUHAP memberikan Kejaksaan beberapa kewenangan baru, termasuk intervensi dalam penyidikan serta kontrol terhadap prosedur penegakan hukum. Beberapa pasal yang disorot adalah Pasal 8 dan Pasal 11, yang memungkinkan pelapor langsung mengajukan laporan ke penuntut umum jika penyidik tidak bertindak dalam 14 hari.
Selain itu, Kejaksaan juga memiliki hak untuk mengajukan permohonan terkait sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, dan penggeledahan. Namun, para akademisi menilai bahwa penambahan kewenangan ini dapat menimbulkan ketimpangan dalam sistem hukum.
RKUHAP Perkuat Dominasi Kejaksaan
- Palupi Ambarwati/ VIVA Banyuwangi
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember, Ahmad Suryono, menilai bahwa revisi ini tidak menawarkan solusi nyata bagi permasalahan hukum di Indonesia.
“Jika tujuan revisi ini adalah meningkatkan efektivitas hukum, mengapa model yang diadopsi justru adalah yang telah ditinggalkan oleh negara-negara maju seperti Belanda?” ungkapnya.
Menurutnya, jika Kejaksaan menjadi pusat dari seluruh proses hukum tanpa kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur yang memadai, justru akan memperburuk kondisi penegakan hukum.
“Kasus-kasus yang mangkrak sekarang saja sudah banyak, apalagi jika semua kewenangan dipusatkan di Kejaksaan,” tambahnya.
Sistem yang diperkenalkan dalam RKUHAP kerap dibandingkan dengan sistem di Korea Selatan, di mana Kejaksaan memiliki peran dominan dalam proses penyelidikan dan penuntutan. Namun, berdasarkan penelitian Jan Terpstra dalam bukunya Police Reform as Institutional Change (2020), peningkatan kewenangan aparat hukum di negara dengan tingkat kepercayaan rendah terhadap institusi hukum justru berpotensi menjadi alat represi, bukan penegak keadilan.
Kesimpulannya, meskipun penguatan Kejaksaan dalam RKUHAP dapat mempercepat proses hukum, tanpa pengawasan ketat, kebijakan ini bisa menjadi bumerang bagi sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, revisi RKUHAP perlu dievaluasi lebih lanjut agar tidak mengorbankan prinsip due process of law demi efisiensi yang belum tentu menghasilkan keadilan.