Bukan Hanya Osing! Menguak Keberagaman Bahasa Jawa di Banyuwangi Selatan

Situs petilasan mbah topeng bukti kebudayaan Jawa Mataraman
Sumber :
  • Galang Adi Pradipta/ VIVA Banyuwangi

Budaya, VIVA BanyuwangiBanyuwangi, “The Sunrise of Java”, adalah daerah yang kaya akan keanekaragaman budaya dan bahasa. Banyak orang mengenal Banyuwangi sebagai rumah bagi Suku Using, penduduk asli dengan bahasa dan tradisi yang unik.

Hubungan dan Cinta Berdasarkan Shio Ular Kayu di Tahun 2025

Banyuwangi seringkali diasosiasikan dengan bahasa Using sebagai identitas budaya lokal yang khas. Lagu-lagu buatan Demy, Catur Arum, Cak Percil, dan Syahiba Saufa selalu menyuguhkan lagu-lagu khas Banyuwangi dengan bahasa Using. Hal ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa bahasa Banyuwangi adalah bahasa Osing.

Namun, apakah benar seluruh Banyuwangi hanya berbicara dalam bahasa Using? Fakta di lapangan menunjukkan adanya keberagaman linguistik yang sering luput dari perhatian. Banyak perantau asal Banyuwangi yang dianggap bisa berbahasa Using nyatanya malah berbahasa lebih dekat dengan masyarakat Kediri-Blitar.

Melesat di Tempat Baru: Tips Jitu Beradaptasi dengan Lingkungan Asing

Di wilayah selatan Banyuwangi, bahasa Jawa menjadi bahasa sehari-hari yang tidak kalah penting dalam merepresentasikan identitas masyarakat. Fenomena ini mengungkap bagaimana keberagaman budaya di Banyuwangi kerap disederhanakan, mengabaikan dinamika sosial dan sejarah yang membentuk peta linguistik daerah tersebut.

 

7 Karakteristik Orang Banyuwangi

Inkripsi situs mbah topeng beraksara jawa

Photo :
  • IG : @massaylaros

 

Sudah saatnya kita menggali lebih dalam untuk memahami kekayaan bahasa Banyuwangi secara utuh, bukan sekadar membingkainya dengan stereotip yang terbatas.

Bahasa Using Identitas Banyuwangi

Berkaitan dengan kebahasaan di Banyuwangi telah diteliti oleh J. J. Ras, seorang profesor dan ahli kesusastraan Jawa serta ketua KITLV pertama di Jakarta. Pada tahun 1982, Ras melalui penelitiannya yang berjudul Inleiding tot het Modern Javaans mencoba menelaah dialek-dialek bahasa di pulau Jawa tak terlupa daerah Banyuwangi.

Menurut Ras Using dianggap sebagai dialek asli Banyuwangi dan merupakan dialek yang paling berbeda dibandingkan dengan dialek lainnya. Penekanan dalam pengucapan diletakkan pada suku kata terakhir. Pada suku kata terbuka, vokal seperti /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/ sering berubah menjadi diftong seperti /aᴐ/, [ai], [au], [ae], atau [ao]. Hal inilah yang cukup khas dari bahasa Using dengan pemberian diftong untuk setiap akhir vokalnya.

Untuk suku kata terakhir yang berakhiran /h/, /r/, atau /n/, vokal /a/ diubah menjadi [ya]. Sementara itu, jika akhir kata berakhiran /k/, /p/, atau /t/, suara tersebut menjadi bersuara (contohnya diucapkan seperti /g/, /b/, atau /d/). Selain itu, dialek ini menggantikan akhiran -aké dengan -aken dan prefiks dak- serta kok- dengan ésun dan sira.

Sebagai pengganti kata aku, kowe, dan dèwèké, digunakan ésun, sira, dan iyané. Kata lain seperti ora, isih, yên, dan sing juga berubah menjadi sing, magih, kadung, dan kang.

 

Candi buatan masyarakat di situs mbah topeng

Photo :
  • IG : @massaylaros

 

Selain itu berkaitan dengan Using secara masyarakat, pada tahun 1927, J.W. de Stoppelaar, seorang Controleur Afdeeling (camat pada masa sekarang) Banyuwangi, menggunakan istilah Balambangansche of Oesing-Javanen (Blambangan atau Jawa-Using) dalam laporannya untuk merujuk kepada kelompok etnis keturunan penduduk asli Blambangan, bekas kerajaan Hindu yang pernah eksis pada masa pasca Majapahit (abad 14-18 M).

Istilah Using sendiri bermakna "tidak" atau setara dengan ora dalam bahasa Jawa, menegaskan identitas mereka sebagai kelompok yang awalnya menolak pengaruh Islam. Berdasarkan diskusi saya dengan Mas Bayu Ari Wibowo, pengelola aktif Museum Blambangan, beliau mengungkapkan bahawa budaya orang Using/Osing banyak dipengaruhi tradisi Bali, sementara dialek mereka mengadopsi unsur Jawa Kuno, Kawi, Bali, dan Melayu.

Stoppelaar mengungkap temuan ini dalam artikelnya "Eenige aanteekeningen omtren Banjoewangi" (1926), yang juga menyebutkan rencana Profesor Hazeu untuk meneliti dialek Using lebih lanjut. Dialek ini tidak hanya digunakan oleh orang Jawa-Using tetapi juga oleh komunitas Madura di timur laut Banyuwangi, yang dapat menguasainya dengan baik.

Bahasa Using kemudian hari tidak hanya digunakan dalam komunikasi sehari-hari, tetapi juga dalam seni tradisional seperti Gandrung, Seblang, dan ritual adat seperti Barong Ider Bumi dan juga telah terkenal dalam seni hiburan terutama musik pada saat ini.

Pemerintah Banyuwangi bahkan menjadikan Bahasa Using sebagai salah satu warisan budaya yang dilestarikan melalui pengajaran di sekolah dan festival budaya. 

Bahasa Jawa Mataraman di Banyuwangi Selatan

Bergeser ke bagian selatan Banyuwangi, kita akan menemukan masyarakat yang menggunakan Bahasa Jawa Mataraman. Bahasa ini merupakan dialek Jawa yang lebih sering ditemukan di wilayah Mataraman seperti Yogyakarta, Solo, Blitar, Kediri, Tulungagung, dan Madiun. Pengaruh Jawa Mataraman di Banyuwangi Selatan terjadi karena sejarah migrasi dan interaksi budaya.

Berbeda dengan Bahasa Using, Bahasa Jawa Mataraman memiliki tingkat tutur (ngoko, madya, dan krama) yang lebih kompleks seperti yang dikenal di Yogya-Solo. Tingkat tutur ini digunakan untuk menunjukkan tingkat kesopanan berdasarkan status sosial dan hubungan antarindividu. Perbedaan ini dapat ditelusuri dari sejarah dan letak geografis Banyuwangi yang strategis.

Sebagai daerah perbatasan Jawa Timur dengan Bali, Banyuwangi menjadi tempat bertemunya berbagai kebudayaan. Suku Using yang menetap di wilayah utara dan tengah adalah keturunan langsung Kerajaan Blambangan, sedangkan penduduk di selatan memiliki hubungan lebih erat dengan wilayah Mataraman. Bukti paling jelas terkait hubungan ini dapat dilihat dari penemuan petilasan salah satu orang Mataram yang pernah singgah dan menetap di Banyuwangi Selatan.

Tokoh ini sering disebut oleh masyarakat sekitar sebagai Mbah Topeng, dan peninggalannya telah dirituskan sebagai situs untuk melambangkan identitas wilayah Topeng Reges di Kecamatan Pesanggaran terutama Dusun Wringinagung.

Selain itu, perbedaan bahasa ini juga dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan jalur perdagangan. Wilayah selatan Banyuwangi yang dekat dengan Jember dan Lumajang memiliki akses yang lebih mudah ke komunitas Jawa Mataraman, sehingga dialek tersebut menyebar ke masyarakat lokal. 

Multibahasa Banyuwangi

Keberadaan dua bahasa ini menjadikan Banyuwangi sebagai salah satu daerah dengan keunikan multibahasa di Indonesia. Masyarakat Banyuwangi dikenal fleksibel dalam menggunakan kedua bahasa ini. Sebagai contoh, dalam acara adat atau kegiatan resmi, Bahasa Using lebih sering digunakan untuk menonjolkan identitas lokal. Namun, dalam interaksi sehari-hari di wilayah selatan, Bahasa Jawa Mataraman lebih dominan.

Dengan adanya globalisasi dan perkembangan teknologi, tantangan dalam melestarikan bahasa lokal semakin besar. Bahasa Using, misalnya, berpotensi tergerus oleh Bahasa Indonesia atau Bahasa Jawa Modern jika tidak terus dilestarikan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan komunitas lokal aktif mengadakan kegiatan seperti pelatihan bahasa, penerbitan buku dalam Bahasa Using, dan pengenalan budaya kepada generasi muda.

Sementara itu, keberadaan Bahasa Jawa Mataraman di Banyuwangi Selatan tetap terjaga melalui interaksi keluarga dan lingkungan sosial. Kombinasi kedua bahasa ini mencerminkan kekayaan budaya Banyuwangi yang patut dijaga.

Bahasa-bahasa di Banyuwangi merupakan cerminan dari sejarah dan keberagaman budaya daerah ini. Bahasa Using di utara dan tengah serta Bahasa Jawa Mataraman di selatan menunjukkan bagaimana perbedaan budaya dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Bagi Anda yang berkunjung ke Banyuwangi, mencoba mempelajari kedua bahasa ini bisa menjadi pengalaman unik yang memperkaya perjalanan Anda.