Menelusuri Sejarah Kabat, Pabrik Gula Pertama di Banyuwangi
- facebook group/Banjoewangie Tempo Doeloe
Sejarah, VIVA Banyuwangi –Selain industri rempah, pada zaman kolonial Hindia Belanda, Indonesia juga punya satu industri yang produknya, masih kita saksikan dan nikmati sampai sekarang. Industri tersebut adalah industri gula pasir.
Melansir dari beberapa situs yang mengulas sejarah Indonesia, industri gula pasir dimulai pada tahun 1830. Saat itu, Gubernur Jenderal Van Den Bosch, memutuskan untuk membuat program tanam paksa, pasca Perang Jawa berakhir.
Program tanam paksa ini, ia lakukan untuk menambal keuangan Pemerintah Belanda yang saat itu mulai menipis. Saat itu, Jenderal Van Den Bosch memutuskan untuk menanam tanaman tebu secara massive di berbagai wilayah di Jawa. Mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Sampai Jawa Timur.
Dan, khusus untuk wilayah Jawa Timur, Banyuwangi adalah salah satu kota yang masuk ke dalam daftar program tanam paksa tersebut. Kemudian, di tahun 1891, berdirilah sebuah pabrik gula di kawasan Kabat. Sebuah kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Banyuwangi.
Saat didirikan, Pabrik Gula Kabat memiliki perkebunan tebu seluas 394 bouw. Dan setelah 24 tahun, perkebunan ini jumlahnya semakin luas. Yakni mencapai 684 bouw. Bouw sendiri artinya adalah bahu atau bau. Pada masa itu, satuan ini digunakan untuk mengukur luas tanah.
Meskipun standarisasinya tidak sama, tapi pada umumnya 1 bouw sama dengan 500 ubin. Jadi kalau diterjemahkan ke dalam satuan meter persegi, 1 bouw sama dengan 7.000 meter persegi. Artinya, luas perkebunan Pabrik Gula Kabat awalnya kurang lebih sebesar 2,7 juta meter persegi. Dan 24 tahun kemudian, luasnya mencapai 4,7 juta meter persegi.
Dengan lahan seluas ini, Pabrik Gula Kabat menjadi eksportir gula yang sangat besar pada masa itu. Sayangnya, berbeda dengan industri yang lain, industri gula bisa dibilang yang paling riskan. Karena berbeda dengan rempah, penanaman tebu terbilang cukup sulit untuk dilakukan.
Melansir dari situs Koperasi Produsen Agro Niaga Jabung Syariah Jawa Timur (KAN JABUNG), budidaya tebu sangat bergantung pada iklim dan cuaca. Tebu, akan tumbuh dengan sangat baik jika ditanam di wilayah beriklim panas, yang suhu rata-ratanya ada di angka 25 sampai 28 derajat celcius. Plus, wilayah tersebut tidak boleh memiliki curah hujan tinggi, tapi tidak boleh juga curah hujan rendah.
Jenis tanahnya pun tidak bisa sembarangan. Harus yang berjenis aluvial, regosol, podsolik atau mediteran. Kenapa? Karena kandungan pH di dalam tanah juga sangat penting untuk pertumbuhan tebu. Yakni sebaiknya ada di angka 6,4 sampai 7,7. Plus, masa panennya juga hanya setahun sekali.
Itulah kenapa makanya, berbisnis di industri gula terbilang sulit. Terbukti dari ratusan pabrik gula yang ada di Indonesia pada zaman Hindia Belanda, hanya tinggal beberapa saja yang masih bertahan sampai sekarang.
Lima di antaranya adalah Pabrik Gula Pagotan di Madiun, Pabrik Gula Rejo Agung di Madiun, Pabrik Gula Kanigoro yang juga di Madiun, Pabrik Gula Jombang di Jombang dan Pabrik Gula Rendeng di Kudus.
Sementara yang lainnya, terpaksa gulung tikar karena tidak mampu mengatasi tantangan industri gula itu sendiri. Termasuk Pabrik Gula Kabat.
Pabrik Gula Kabat dikelola oleh perusahaan bernama Maatch Tot Expl de Suikerfabriek Kabat, milik Jbr AV van Haeften. Namun, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa industri gula tidak semahsyur industri rempah, teh, kopi dan industri-industri agro lainnya.
Ditambah, pada tahun 1918 muncul krisis gula di Indonesia. Akibatnya, harga gula di pasar internasional turun drastis. Dan salah satu penyebab munculnya krisis gula ini adalah karena adanya hama yang menyebabkan tanaman tebu tidak bisa tumbuh dengan baik.
Meskipun, jauh sebelum krisis gula muncul, Pabrik Gula Kabat sudah sempat mengalami krisis lain. Hal ini bisa dibuktikan dengan perubahan kepemilikan di tahun 1896, lewat acara lelang. Dan dari pelelangan tersebut, pengelola dan pemilik Pabrik Gula Kabat berubah.
Sayangnya, saat penelusuran dilakukan, perubahan pengelola dan pemilik ini tidak diketahui. Namun, perusahaan dan pemilik yang baru ini juga tidak bisa bertahan karena beberapa kali mengalami krisis.
Pertama adalah krisis gula di tahun 1918 dan yang kedua adalah krisis ekonomi di tahun 1930-an. Hingga akhirnya, Pabrik Gula Kabat resmi ditutup dan dialihfungsikan menjadi pabrik beras, oleh pengusaha berdarah Timur Tengah yang tidak diketahui namanya.