DPR Didesak Tidak Terburu-buru Sahkan RUU KUHAP, Ada Potensi Ketimpangan Kewenangan
- Palupi Ambarwati/ VIVA Banyuwangi
Jember, VIVA Banyuwangi –Rencana DPR RI untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pada 21 Maret 2025 mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Meskipun masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, pembahasan RUU ini dinilai belum cukup melibatkan publik, sehingga dikhawatirkan akan menghadirkan berbagai permasalahan di kemudian hari.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburrokhman, menegaskan bahwa pembahasan RUU ini harus rampung dalam masa sidang DPR RI yang berlangsung sejak 1 Januari hingga 20 Maret 2025. Saat ini, draf RUU KUHAP masih dalam tahap penyusunan oleh Badan Keahlian DPR RI. Pembaruan KUHAP dianggap mendesak, terutama setelah diberlakukannya KUHP baru melalui UU No. 1 Tahun 2023.
Meski ada berbagai penyempurnaan dalam RUU KUHAP, seperti diperkenalkannya Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) dalam Pasal 29 dan pengakuan alat bukti elektronik dalam Pasal 175, beberapa pihak menilai revisi ini justru menimbulkan masalah baru. Salah satu sorotan utama adalah hilangnya pasal penyelidikan, yang berpotensi melemahkan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam proses hukum.
Selain itu, penguatan peran jaksa dalam sistem peradilan pidana juga dipertanyakan. RUU KUHAP memberi jaksa kewenangan tambahan, termasuk sebagai penyelidik dan penyidik dalam kasus tertentu, sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 ayat 11 dan Pasal 111 ayat 2. Bahkan, dalam Pasal 30b, jaksa diberikan wewenang untuk melakukan penyadapan. Hal ini memicu kekhawatiran akan adanya dominasi kejaksaan dalam sistem peradilan, yang berpotensi menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Kritik lain datang dari kalangan akademisi dan praktisi hukum, yang menilai bahwa perubahan ini dapat mengembalikan sistem hukum Indonesia ke era Herziene Inlandsch Reglement (HIR) zaman kolonial, di mana kepolisian hanya bertindak sebagai pembantu jaksa (hulp magistraat). Selain itu, penerapan restorative justice yang hanya dapat dilakukan oleh jaksa juga dianggap mengurangi esensi keadilan restoratif yang seharusnya melibatkan berbagai pihak, termasuk korban dan pelaku.
Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, M. Noor Harisudin, menegaskan bahwa sistem peradilan pidana yang selama ini berjalan dengan prinsip Integrated Criminal Justice System (ICJS) harus tetap dipertahankan. KUHAP 1981 dinilai sudah cukup baik dalam mengatur diferensiasi peran antara polisi, jaksa, hakim, dan advokat, sehingga revisi seharusnya hanya berfokus pada penyempurnaan, bukan memberikan kewenangan berlebih kepada salah satu lembaga penegak hukum.
Dengan berbagai persoalan ini, publik mendesak DPR agar tidak terburu-buru dalam mengesahkan RUU KUHAP. Mereka menuntut adanya diskusi lebih lanjut dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat guna memastikan bahwa perubahan KUHAP benar-benar membawa manfaat bagi keadilan dan kepastian hukum di Indonesia.