Jalan Terjal Perajin Wayang Kulit di Banyuwangi, Bertahan Meski Pembeli Terus Berkurang

Sutrisno sedang memperhatikan pahatan wayang buatannya
Sumber :
  • Litalia Putri / VIVA Banyuwangi

Banyuwangi, VIVA Banyuwangi – Meski sudah diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO, nampaknya jalan kesenian wayang kulit untuk mempertahankan diri di tengah gempuran budaya multinasional di era digital masih cukup terjal.

Menyelami Eksotisme Dekke Naniura: Kuliner Khas Tapanuli yang Memanjakan Lidah

Beberapa faktor mulai dari regenerasi dalang, perajin, dan antusias penggemar menjadi bagian penting yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, jika salah satunya tak jalan, eksistensi wayang kulit itu sendiri yang akan dipertanyakan.

Minat masyarakat terhadap pagelaran wayang kulit yang semakin menurun juga turut berimbas pada pelaku seni yang menekuni bidang tersebut.

Mitos, Legenda, dan Sejarah Tari Baluse Sumatera Utara

Hal ini pula yang turut dirasakan oleh Sutrisno, perajin wayang kulit dari Desa Tapanrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur.

Sebagai desa yang dikenal dengan Kampung Matraman karena banyak keturunan Jogjakarta, menurut Sutrisno saat ini hanya tersisa dirinya seorang yang masih menekuni profesi sebagai perajin wayang kulit.

Menguak Misteri Tari Moyo: Ritme Kuno yang Menghubungkan Masa Lalu dan Masa Kini

Padahal, terang Sutrisno, dahulu banyak warga di Desa Tapanrejo yang menghidupi bidang kesenian wayang kulit, mulai dari dalang, perajin hingga penggemar kesenian tersebut.

Proses pembuatan wayang

Photo :
  • Litalia Putri / VIVA Banyuwangi

 

“Dulu banyak (perajin) di sini, sekarang sepertinya hanya saya saja yang masih aktif,” kata Sutrisno saat ditemui Banyuwangi.viva.co.id pada 7 November 2023.

Imbas dari sepinya peminat pagelaran wayang kulit, lanjut Sutrisno, juga menimpa pada dirinya sebagai salah satu perajin wayang kulit yang tersisa di Banyuwangi.

“Pesanan wayang kulit sekarang sepi, sebulan belum tentu ada,” keluhnya.

Pembuatan wayang kulit yang dinilai sudah tidak menguntungkan secara ekonomi ini juga dirasakan oleh Riyono, perajin wayang kulit lainnya yang ada di Desa Tapanrejo.

Riyono mengaku saat ini sudah tidak menggeluti pekerjaan sebagai perajin wayang kulit dan hanya aktif sebagai dalang saja. Itu pun dengan jadwal pagelaran wayang kulit yang tidak sebanyak dulu.

“Sekarang paling ya hanya dalang, banyaknya ya ruwatan. Kalau pagelaran sudah jarang,” terang Riyono.

Sementara untuk menghidupi perekonomian di tengah jadwal pementasan yang tak tentu, Riyono memilih menekuni profesi tani sebagai sampingannya.

Selain dirinya, Riyono mengatakan banyak pelaku kesenian wayang kulit yang memilih untuk berganti profesi saat ini.

“Sudah berkurang banyak (peminat wayang kulit) sekarang, kalau nggak cari pekerjaan lain ya nggak bisa makan,” kata Riyono.

Di tengah peringatan perayaan Hari Wayang Nasional pada 7 November, setiap tahunnya baik Riyono maupun Sutrisno berharap kesenian tradisional warisan budaya Indonesia ini bisa terus bertahan di tengah gempuran jaman.

Kedua pelaku seni di bidang wayang kulit ini berharap, minat masyarakat untuk menikmati wayang kulit yang sarat akan filosofi dan petuah Jawa itu akan semakin meningkat setiap tahunnya. Sehingga warisan budaya yang sudah diakui oleh UNESCO ini tak akan punah meski jaman terus berubah.

Pesene mung siji, terus diuri-uri budayane dewe (Pesannya hanya satu, terus dilestarikan budaya kita sendiri),” pungkas Sutrisno dalam bahasa Jawa.