Ramadhan Mengajarkan Menjadi Pribadi Yang Optimis

Ilustrasi optimis
Sumber :
  • Istimewa / VIVA Banyuwangi

Banyuwangi, VIVA Banyuwangi –Penulis: Ustad Faisol Aziz. Ketua DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Banyuwangi.

Telinga Anda Berdenging? Ini Penjelasan Medisnya

Ketika mengawali Ramadhan, sebagian Ulama mengajarkan kita untuk berniat untuk berpuasa satu bulan penuh. Ini adalah Madzhab Maliki.

 

Omahseum, Museum Tentang Budaya dan Sejarah Banyuwangi Abad 13

Untuk mengantisipasi barangkali kita terlupa berniat pada satu malam di Bulan Ramadhan seperti yang dianjurkan dalam Madzhab Syafi’i.

 

Cerpen Bahasa Using Banyuwangi: Kecaruk Maning

 

Bukan memastikan bahwa kita pasti akan berpuasa satu bulan penuh, tapi ini bagian dari sikap optimis sekaligus kehati-hatian.

 

 

Bisa saja seseorang tutup usia di tengah menjalankan Puasa Ramadhan, atau sakit, atau safar, atau hal lain yang menyebabkan kita tidak boleh berpuasa. Misalnya Haid dan Nifas.

 

 

Ketika kita menjalankan ibadah puasa Ramadhan, kita mampu bersabar. Mengapa? Karena kita optimis akan bertemu dengan waktu berbuka.

 

 

Sikap optimis adalah suatu yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Tapi sikap optimis yang pertengahan.

 

 

Mengapa pertengahan karena kita pun harus tetap meyakini Qodho dan Qodar Allah SWT. Itulah batas Optimisme kita.

 

 

Nabi Zakaria as tak kenal lelah berdoa siang dan malam. Untuk dikaruniakan seorang anak, padahal usianya saat itu sudah renta.

 

 

Beliau berdoa tak kenal putus asa, bahwa doanya akan dikabulkan Allah SWT. Demikianlah, kemudian Allah mengabulkan doanya.

 

 

Seorang ibu yang bersedia mengandung anaknya selama kurang lebih sembilan bulan. Melahirkannya dengan bertaruh nyawa.

 

 

Kemudian merawat bayinya dengan penuh kasih sayang. Dia memang tidak tahu bagaimana keadaan anaknya kelak. Akan menjadi anak yang berbakti atau justru durhaka.

 

 

Tapi sikap optimisme dibutuhkan. Kita hanya berusaha merawat, membesarkan dan mendidiknya dengan baik. Mudah-mudahan di masa depan anak kita akan menjadi anak yang shalih, anak yang berbakti kepada kedua orang tua.

 

 

Janganlah kita seperti iblis yang berputus asa dari rahmat Allah SWT.

 

 

Padahal ia benar-benar lebih mengenal Allah dibanding kita. Iblis pernah tinggal di surga. Ketika ia di usir dari surga, bahkan saat putus asanya, dia berdoa untuk ditangguhkan usianya.

 

 

Berilah aku penangguhan waktu sampai hari mereka dibangkitkan (QS Al Araf 14).

 

 

Doa Iblis itu pun dikabulkan Allah SWT.

 

Benar, kamu yang termasuk diberi penangguhan waktu (QS Al Araf 15).

 

 

Tapi demikianlah Iblis, pengenalannya kepada Allah, pengabulan doanya, tidak menjadikan dia menjadi makhluk yang tahu bagaimana harus berbakti.

 

 

Ia lebih memperturutkan hawa nafsunya untuk membalas dendam kepada Bani Adam, dengan tekadnya untuk sebanyak mungkin menyesatkan manusia dari jalan kebenaran.

 

 

Sedangkan kita orang-orang yang beriman, memliki sifat optimis bahwa setiap kesalahan sebesar apa pun juga, asal kita bertaubat dengan benar pasti akan Allah ampuni.

 

 

“Setiap manusia pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat.” (H.R. Tirmidzi).

 

 

“Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Az Zumar: 53).