Caleg Popularitas Diminati Partai: Dari Artis Lawas Hingga yang Baru Menduduki Papan Atas

Mahasiswa Fakultas IAI Ibrahimy, Dendy Anugrah
Sumber :
  • Hafiluddin Ahmad

Banyuwangi Topik yang sedang ramai diperbincangkan publik adalah banyak partai politik (Parpol) yang mengusung publik figur atau selebritis. Media masa banyak memberitakan, puluhan nama artis mencalonkan diri jadi calon anggota legislatif atau Caleg untuk Pemilu 2024 mendatang. Mulai dari artis lawas hingga yang baru menduduki “kursi” papan atas.

Santunan Petugas Pemilu, PJ Gubernur Jatim Minta Tak Perlu Simbolis

Tak heran, jika sejumlah Parpol menggaet sederet nama artis untuk dapat menduduki kursi empuk parlemen, meski mengenai hal ini, menimbulkan pro dan kontra. Memang begitulah manusia, pasti berpihak ke sana ataupun ke sini, sudah jadi sifat alamiah manusia.

“Membaca informasi tersebut, saya juga berkeinginan untuk memberikan tanggapan yang mungkin dapat memberikan gambaran mengenai fenomena yang, menurut saya, mengerutkan dahi”.

Pakai Pita Merah Muda, Massa Pendukung Caleg Nasdem Geruduk Bawaslu

Popularitas adalah salah satu sarana yang digunakan oleh partai untuk “menggaet” suara rakyat. Karena, pemilihan umum memang tak lepas dari perebutan suara rakyat. Tapi, bukan berarti hal demikian dapat dinamakan "Paduan Suara". Bukan. Jangan beranggapan demikian, nanti bisa menjadi kenyataan. Ada yang bilang, realitanya begitu.

Dengerin dong, kritik Iwan Fals dalam lagunya yang bertajuk Wakil Rakyat. Soal apakah memang pantas disebut "Paduan Suara", silahkan dibicarakan dengan teman, keluarga, sahabat atau siapa pun.

C1 Plano Glagah Dibuka, Suara Bima Rafsanjani Langsung Anjlok, Ada Apa?

“Saran saya, sebaiknya ditemani secangkir kopi dan gorengan yang masih hangat, biar nggak tegang-tegang amat. Biarkanlah laki-laki yang seharusnya "tegang" ketika sedang menikmati bulan madu bersama istrinya”.

Perekrutan publik figur adalah salah satu strategi untuk meraup dukungan publik untuk dapat dikonversi menjadi suara. Tidak saja dari kalangan artis, tokoh masyarakat, agamawan dan orang yang dianggap punya power/pengaruh di lingkungannya juga direkrut, agar mau nyaleg.

Apalagi, jika artis tersebut mempunyai penggemar berat atau bahkan hatters. Maka dari itu, partai memanfaatkan popularitas mereka untuk mendapatkan simpati rakyat. Tapi ini asumsi sementara. Toh, bisa dibantah.

Namun, mau bagaimana pun, pandangan demikian wajar diutarakan.

Sebenarnya, siapa pun boleh menjadi calon legislatif (caleg), asalkan dapat memenuhi persyaratan. Namun, bukan berarti menafikan 'persyaratan' yang dianggap ideal, misalnya, para calon harus memenuhi dan lolos dari uji kompetensi, lolos uji etikabilitas, lalu teruji secara intelektualitas baru kemudian uji elektabilitas.

Mau artis, agamawan, pesulap, dukun bersalin, tukang becak, petani, pedagang, tukang cukur, barista kopi, hingga aktivis abal-abal boleh mencalonkan diri. Apalagi, seorang imajiner juga sangat berhak.

Siapapun boleh membayangkan menjadi presiden, Ketua DPR, menjadi Mahkamah Agung (MA). Toh, hanya dalam bayangan. Sekarang ini, klaim sana dan klaim sini sudah menuju kepada banalitas. Kalau sudah begitu, mau bagaimana lagi, la wong yang berjuang hanya segelintir orang.

“Garis besar dari tulisan ini adalah, saya merasa bahwa partai politik saat ini lebih memprioritaskan popularitas ketimbang kredibilitas, diakui atau tidak. Lantas, bagaimana dengan kemampuan mereka jika terpilih? Gampang, pokoknya "sam'an wa tha'atan" sama juragan, beres!”.

Kalau ditanya, kenapa nyaleg? jawabnya, manut juragan!

Kalau ditanya, apa program ke depan? jawabnya, manut juragan!

Kalau kamu nanti mati, apakah kamu juga ikut juragan?

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama Islam atau IAI Ibrahimy Genteng, Banyuwangi, Dendy Wahyu Anugrah.

Seluruh konten yang dimuat dan akibat yang ditimbulkan nantinya merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari penulis.

banyuwangi.viva.co.id membuka ruang seluas-luasnya kepada pembaca untuk mengirimkan artikel, ide maupun gagasan dengan tetap berpedoman kepada kaidah keilmuan hingga kode etik jurnalistik dan menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah.