Benteng dan Masjid Indrapuri: Saksi Bisu Perjuangan Islam di Aceh
- Cagarbudaya.kemdikbud.go.id.jpg
Budaya, VIVA Banyuwangi –Bangunan Cagar Budaya Benteng dan Masjid Indrapuri merupakan masjid peninggalan Kesultanan Aceh yang dibangun dengan material kayu. Luas masjid ini adalah 18,8 x 18,8 meter dan didukung oleh 36 tiang yang berdiri di atas umpak dari batu kali.
Dari jumlah tersebut, empat tiang berfungsi sebagai tiang utama (saka guru) yang menopang atap masjid. Masjid ini tidak dilengkapi dengan jendela dan pintu; sebagai gantinya, terdapat tembok yang tidak terhubung yang digunakan untuk akses keluar masuk.
Di halaman masjid, terdapat bak penampungan air hujan yang dimanfaatkan untuk berwudhu. Mihrab terletak di sisi barat, terbuat dari tembok setinggi pinggang orang dewasa, dan disampingnya terdapat undakan yang berfungsi sebagai mimbar.
Di sebelah utara masjid terdapat menara kecil bertingkat yang dilengkapi dengan kentongan.
Sejarah
Dahulu kala, lokasi Bangunan Cagar Budaya Benteng dan Masjid Indrapuri merupakan bagian dari Kerajaan Lamuri yang bercorak Hindu, diperkirakan berdiri pada abad ke-12.
Kerajaan ini membangun berbagai bangunan, termasuk Candi Indrapuri. Islam mulai dikenal di Kerajaan Lamuri setelah kedatangan penyebar agama Islam bernama Abdullah Kan’an, atau Tengku Abdullah Lampeuneuen, dari Aceh Timur.
Kerajaan ini mulai menganut Islam setelah mendapatkan bantuan dari Tengku Abdullah dalam melawan bajak laut. Selanjutnya, wilayah ini menjadi bagian dari Kesultanan Aceh, dan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Candi Indrapuri diubah menjadi masjid.
Masjid ini memiliki beberapa peristiwa penting dalam sejarahnya. Pada tahun 1870, masjid ini digunakan sebagai lokasi penobatan Sultan Aceh ke-34, Sultan Mahmud Syah (1870-1874).
Selain itu, masjid ini juga berfungsi sebagai markas mujahidin selama Perang Aceh (1873-1904).
Dengan demikian, Benteng dan Masjid Indrapuri tidak hanya merupakan bangunan bersejarah tetapi juga simbol penting dari transisi budaya dan agama di Aceh.