Sejarah Tari Gandrung yang Menjadi Ikon dan Ciri Khas Banyuwangi

Tari Gandrung Banyuwangi
Sumber :

Banyuwangi – Tari Gandrung merupakan tari tradisional yang khas dari Banyuwangi. Tarian ini disebut berasal dari kebudayaan Suku Osing dan menjadi wujud rasa syukur atas hasil panen pertanian.

Sambut WWF, Polda Jatim Siapkan Pengamanan Ketat

Dalam pementasannya, Tari Gandrung dibawakan oleh penari laki-laki maupun perempuan yang masing-masing penarinya memiliki nama.

Penari perempuan disebut dengan nama Penari Gandrung, sedangkan penari laki-laki disebut sebagai Paju atau Pemaju.

KPK Bimtek ke Banyuwangi, Soroti Soal Pengelolaan Keuangan Daerah

Kata gandrung dalam penamaan tarian ini diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris pada Dewi Sri sebagai Dewi Padi dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Sejarah

Cerpen Bahasa Using Banyuwangi, Judul: Tangga

 

Tarib Gandrung Banyuwangi

Photo :
  • -

 

Kesenian gandrung dari Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabatnya hutan Tirtagondo untuk membangun ibu kota Balambangan, sebagai pengganti dari Pangpang atau Ulu Pangpang atas prakarsa dari bupati pertama Banyuwangi, yaitu Mas Alit yang dilantik pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulu Pangpang.

Tari Gandrung pada mulanya dilakukan oleh kaum laki-laki bernama Marsan yaitu penari gandrung pertama. Mereka membawa peralatan musik berupa kendang dan beberapa rebana atau terbang.

Setiap hari, para Marsan ini berkeliling dan mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa rakyat Blambangan yang berada di sebelah timur atau saat ini daerah tersebut meliputi Kab. Banyuwangi.

Hal itu disebabkan sisa rakyat yang tinggal di daerah tersebut hanyalah mencapai 5000 jiwa, karena peperangan yaitu penyerbuan kompeni yang dibantu oleh Mataram serta Madura pada sekitar tahun 1767 untuk merebut Blambangan dari kekuasaan Mengwi, hingga berakhirnya perang Bayu yang cukup sadis, keji maupun brutal dan dimenangkan oleh Kompeni pada 11 Oktober tahun 1772.

Menurut cerita, jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri maupun menjadi tawanan, hilang dan lainnya tidak tentu. Beberapa rakyat mungkin dibuang atau di selong oleh Kompeni dan diperkirakan mencapai hingga lebih dari 60.000 jiwa.

Sementara itu, sisanya yaitu 5000 jiwa rakyat hidup terlantar dengan keadaan yang memprihatinkan, terpencar di desa-desa, di pedalaman atau bahkan banyak yang memutuskan untuk berlindung di hutan.

Mereka adalah para orang tua, janda, anak-anak yang yatim piatu. Beberapa ada yang memilih untuk menyingkir dan melarikan diri ke negeri lain seperti Mataram, Madura, Bali dan lainnya.

Sebagian dari mereka yang berhasil melarikan diri ke dalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang mereka alami. Sehingga udara pun tercemar oleh mayat-mayat yang membusuk hingga jarak yang cukup jauh.

Berkat munculnya gandrung, seni ini kemudian dimanfaatkan sebagai alat perjuangan yang setiap saat mengadakan pementasan dengan mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa rakyat yang hidup berpencar-pencar di pedesaan, di pedalaman maupun yang menetap di hutan.

Setelah gandrung datang menampilkan pentas tari, orang-orang yang menderita di hutan pun mulai ingin kembali ke kampung halamannya, mulai membentuk kehidupan baru atau ikut membabat hutan Tirta Arum dan kemudian tinggal di ibu kota baru yang dibangun atas prakarsa dari Mas Alit.

Setelah ibu kota baru selesai dibangun, ibu kota tersebut dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang telah di babad yaitu Tirta Arum.

Dari keterangan tersebut, maka terlihat jelas bahwa tujuan dari kelahiran kesenian tari gandrung ialah untuk menyelamatkan sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun lagi bumi Belambangan di sebelah timur yang telah hancur karena seruan Kompeni.

Menurut catatan sejarah, tari gandrung pertama kali ditarikan oleh para laki-laki yang berdandan seperti perempuan, sedangkan menurut laporan dari Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tari gandrung lanang adalah kendang.

Pada masa tersebut, biola juga digunakan. Akan tetapi, gandrung laki-laki ini makin lama semakin hilang dari Banyuwangi tepatnya pada sekitar tahun 1890-an dan diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau laki-laki yang berdandan seperti perempuan.

Tari gandrung laki-laki pun benar-benar lenyap pada tahun 1914, usai penari terakhir laki-laki yaitu Marsan meninggal dunia. Menurut sejumlah sumber, kelahiran dari tari gandrung ditujukan sebagai hiburan semata, terutama bagi para pembabat hutan dan mengiringi upacara untuk meminta selamat karena proses pembabatan hutan yang angker.

Gandrung Perempuan Pertama

Gandrung perempuan, pertama kali dikenal dalam sejarah adalah gandrung semi, yaitu seorang anak kecil yang pada saat itu masih berusia sepuluh tahun di tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya oleh masyarakat, pada saat itu Semi menderita penyakit cukup parah.

Segala cara telah dilakukan, bahkan Semi datang ke dukun, namun Semi tetap tidak kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi bernama Mak Midhah pun bernazar, “kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Jika kamu sembuh, saya akan jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).

Setelah mengucapkan nazar tersebut, ternyata akhirnya Semi sembuh dari penyakitnya dan sesuai dengan sang ibu, mak Semi pun dijadikan sebagai Seblang dan memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh seorang perempuan.

Tradisi gandrung yang dilakukan Semi, lalu diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggung. Kesenian ini lalu semakin berkembang di daerah Banyuwangi yang lain dan kemudian menjadi ikon khas di daerah setempat.

Pada mulanya, gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan dari penari gandrung sebelumnya saja, akan tetapi sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis muda yang bukan keturunan dari gandrung ikut mempelajari tari gandrung dan menjadikannya sebagai sumber dari mata pencaharian, selain untuk mempertahankan eksistensi tari gandrung yang makin terdesak pada akhir abad ke 20.

Sejak Desember 2000, tari gandrung pun resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi yang disusul dengan pematungan gandrung yang dipajang di berbagai sudut kota maupun desa.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga memprakarsai promosi dari gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat, contohnya seperti Jakarta, Surabaya hingga ke luar negeri seperti Hongkong dan Amerika Serikat.