Mengapa PBNU Tidak Meniru Demokrasi ala Partai Politik?

Wakil Sekretaris PCNU Banyuwangi 2018-2023, Abdul Aziz
Sumber :
  • Abdul Aziz

Banyuwangi Konflik yang melibatkan beberapa Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) dan Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur dengan PBNU akhirnya tak dapat dihindari. Beberapa kebijakan dan langkah yang diambil oleh PBNU tak sepenuhnya diterima begitu saja oleh PW maupun PCNU yang merupakan jajaran di bawahnya.

Disinyalir Akan di Klaim PKB, Para Ulama NU Kirim Surat Ke PBNU

Ambil contoh langkah PBNU melakukan caretaker terhadap PCNU Jombang dan PCNU Surabaya (sekarang sudah definitif). Ternyata ada sebagian pihak di internal kedua PCNU bahkan PWNU yang terang-terangan mempersoalkannya.

Bukan hanya dimuat di sejumlah media mainstream. Tapi juga diunggah secara terang-terangan melalui akun medsos sejumlah pengurus. Tentu ini sangat memprihatinkan dan pertunjukan yang tidak baik bagi umat, khususnya warga nahdliyin akar rumput.

PCNU Banyuwangi Dikarteker, PBNU Tegaskan Hal Ini

Secara pribadi, saya tentu kurang begitu detail apa sebenarnya akar persoalan yang menjadi pemicu PBNU melakukan langkah caretaker terhadap persoalan yang ada di Jombang dan Surabaya, bahkan ada pengurus PWNU ikut-ikut mempersoalkan. Sebab masing-masing tentu punya argumentasi.

Yang jelas adanya pengurus PWNU dan PCNU menentang keputusan PBNU selaku struktur pengurus di atasnya, sungguh suatu yang tidak lazim secara organisasi. Sebab menunjukkan ketidakpatuhan dan ketaatannya. Apalagi ditunjukkan secara terbuka melalui media arus utama maupun media sosial.

Jokowi Dinilai Kebablasan, 30 Universitas Tentukan Sikap, ini Daftarnya

Terlepas apa yang menjadi motivasi di belakang para pihak, kalau boleh saya urai, akar masalah yang seringkali memunculkan konflik internal ormas terbesar di dunia ini, justru berangkat dari proses demokrasi yang diberlakukan pada momentum pemilihan figur pimpinan.

Proses demokrasi terpilihnya Rais Syuriah mulai tingkat ranting, Majelis Wakil Cabang (MWC) Pengurus Cabang, Pengurus Wilayah hingga PBNU tampaknya benar-benar menjadi sumber konflik utama di tubuh internal ormas yang berdiri di Jawa Timur tersebut.

Ruang demokrasi yang memang dijamin oleh Peraturan Perkumpulan NU tersebut, tampaknya bukan hanya memberi ruang pihak internal untuk menjalankan pesta demokrasi pada ajang pemilihan Rais Syuriah maupun Ketua Tanfidziyah.

Kebesaran ormas islam berhaluan ahlussunnah waljamaah ini tentu juga menarik pihak-pihak di luar pengurus atau pemilik hak pilih untuk ikut masuk ‘bermain’ guna menjalankan misi terselubungnya.

Terutama sistem demokrasi di Indonesia yang membuat partai politik dan para pihak membutuhkan lumbung suara. Mulai pemilihan kepala desa, legislatif, DPD hingga Presiden. Semuanya butuh suara NU.

Banyaknya kepentingan baik di internal maupun eksternal pengurus, membuat momentum demokrasi di tubuh NU mulai tingkat ranting hingga PBNU seringkali menghangat bahkan memanas.

Sekali lagi, memanasnya situasi tersebut, memang ada ruang yang bisa dimasuki. Ruang tersebut terjadi saat proses pemilihan Rais Syuriah maupun Ketua Tanfidziyah. Misal dalam proses pemilihan rais syuriah di tingkat cabang, para musyawirin khususnya pemilik suara, yaitu Rais Syuriah dan Katib Syuriah di tingkat Ranting dan MWC, terlebih dahulu mengusulkan beberapa nama kiai (biasa disebuat Ahlul Hali Wal Aqdi /AHWA) yang nantinya diberi mandat untuk bermusyawarah dan memutuskan sosok Rais Syuriah yang akan dipilih dan disepakati.

Apakah ada ruang untuk para pihak masuk ke arah konflik kepentingan? Tentu sangat ada. Pada awal proses penentuan nama-nama calon AHWA saja para pihak sudah mulai tarik ulur kepentingan, mengenai figur nama yang akan diusung dan mewakili kepentingannya.

Biasanya, sebelum mengerucut menjadi lima orang, ada banyak nama yang muncul untuk diusulkan oleh MWC dan Ranting NU. Di sinilah celah ruang mulai ‘memanasnya’ proses demokrasi di NU. Lobi dan negosiasi, bahkan intrik-intrik politik dari dalam maupun luar mulai diluncurkan. Termasuk ‘cost’ politik para pihak berkepentingan.

Jangan dikira hal ini terjadi pada saat pelaksanaan Konfercab NU. Ketika konsolidasi dan penggalangan dukungan sudah lazim terjadi jauh hari sebelum pelaksanaan konfercab, sehingga tarik ulur kepentingan seringkali menghangatkan situasi.

Proses terpilihnya AHWA juga bukan hal mudah. Sebab bisa muncul dua sampai tiga kelompok calon AHWA yang akan diusung. Hal ini mengacu kepentingan para pihak yang mengharapkan figur Rais Syuriah terpilih.

Jika ada tiga nama bakal calon Rais Syuriah yang muncul, maka lazimnya akan ada tiga kelompok AHWA yang diusung masing-masing tim sukses. Sehingga tidak bisa dihindari juga makin banyak pihak yang terlibat ‘meramaikan’ bagian awal proses demokrasi ala NU ini.

Menjelang hari H biasanya para tim sukses sudah melihat kekuatan masing-masing calon AHWA yang diusung. Jika para figur yang diusung melemah tentu akan melakukan langkah-langkah penguatan. Begitu sebaliknya. Yang kuat akan melakukan pengamanan dan bahkan kalau bisa menambah dukungan. Tentu dengan segala cost-nya.

Begitu nama-nama AHWA peraih suara tertinggi berurutan sampai lima orang, maka merekalah yang berhak untuk bermusyawarah dan menyepakati siapa figur Rais Syuriah terpilih. Biasanya, dari lima nama AHWA terpilih sudah bisa ditebak siapa Rais Syuriah yang terpilih.

Setelah proses pemilihan AHWA dan dilanjut penentuan Rais Syuriah berakhir, tahap berikutnya adalah proses pemilihan Ketua tanfidziyah PCNU, yang dilakukan oleh Ketua tanfidziyah MWC dan Ranting. Untuk Banyuwangi saja, ada sekitar 560 ranting.

Sama seperti pemilihan AHWA dan Rais Syuriah. Proses ini juga memberi ruang yang sangat terbuka untuk terjadinya intrik-intrik politik internal maupun eksternal. Lobi dan konsolidasi juga lazim dilakukan jauh hari sebelum pelaksanaan Konfercab NU. Dinamikanya bisa jadi lebih memanas dari proses terpilihnya Rais Syuriah.

Proses terpilihnya Ketua tanfidziyah PCNU tentu berbeda dengan Rais Syuriah. Jika Rais Syuriah dipilih dan disepakati melalui proses terpilihnya AHWA terlebih dahulu, maka figur Ketua Tanfidziyah NU yang lolos tahap pencalonan (suara terbanyak maupun sedikit), masih harus disetorkan namanya kepada Rais Syuriah terpilih.

Titik krusial kembali ada di sini. Jika sosok calon ketua tanfidziyah peraih suara terbanyak tersebut langsung disetujui oleh Rais Syuriah terpilih, maka secara otomatis dia menjadi ketua tanfidz definitif dan tidak rawan terjadi konflik.

Namun kemudian jika Rais Syuriah bersikap sebaliknya, yaitu menghendaki figur ketua tanfidziyah peraih suara sedikit dan itu sah secara hukum, maka dia juga akan menjadi ketua tanfidz terpilih. Namun pilihan kedua ini tentu sedikit banyak akan menimbulkan gejolak.

Begitulah sedikit gambaran betapa terbukanya proses demokrasi di NU. Bukan hanya pihak internal yang rawan terjadi konflik dan saling intrik, namun pihak luar pun sangat leluasa untuk masuk turut menentukan figur Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah. 

Mahalnya cost politik yang harus dibayar karena penentuan figur Rais Syuriah dan Ketua tanfidziyah diberikan sepenuhnya kepada suara Ranting dan MWC NU tersebut, seringkali membuat mereka tidak segan untuk tidak patuh dan tidak sejalan terhadap struktur di atasnya.

Sebab mereka merasa PBNU tidak ikut andil bagian apapun pada proses terpilihnya mereka kecuali hanya menerbitkan SK kepengurusan. Tapi Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah yang terpilih lebih ditentukan oleh struktur di bawahnya, tentu dengan bantuan pihak-pihak berkepentingan untuk pengkondisian dukungan.

Terbukanya proses demokrasi yang ada di tubuh NU tersebut, bukan hanya membuat ruang ketidakpatuhan pada struktur di atasnya, namun seringkali melahirkan riak-riak politik yang tak kunjung usai. Meski pesta demokrasinya sudah usai.

Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan praktik yang dilakukan oleh hampir semua partai politik. Meski dikenal sebagai pilar demokrasi terpenting negeri ini, semua partai politik justru tidak ada yang berani melemparkan sepenuhnya proses terpilihnya pucuk pimpinan mereka kepada tingkatan di bawahnya.

Hampir semua partai politik yang ada, hanya memberi ruang sekedarnya saja untuk ‘partisipasi’ menentukan siapa figur pimpinan mereka di tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Misalnya saja, hanya diberi kewenangan menjaring nama-nama calon ketua dewan syuro dan ketua tanfidz, atau calon ketua dewan pembina dan ketua dewan harian.

Sehingga forum demokrasi di kabupaten maupun propinsi, fungsinya hanya memunculkan seorang atau lebih untuk diusulkan sebagai Calon Ketua DPC atau DPW kepada Dewan Pimpinan Pusat (DPP).

Siapapun dan berapapun nama yang diusulkan oleh forum konfercab tingkat kabupaten atau konferwil di tingkat propinsi, ketua terpilih sepenuhnya menjadi hak prerogratif dari DPP partai.

Demokrasi ala partai politik ini ternyata justru meminimalisir konflik dan ketidakpatuhan struktur di bawah pada struktur di atasnya. Bahkan mereka yang merasa tidak cocok dengan keputusan pimpinan di pusat, jangankan menyampaikan di media mainstream atau medsos. Sekadar rasan-rasan di warung kopi saja takut. Benar-benar patuh pada pimpinan di atasnya.

Jika memang PBNU menghendaki kebijakannya, seiring dan dipatuhi oleh struktur sampai tingkat paling bawah, mengapa tidak meniru saja sistem demokrasi ala partai politik? Costnya lebih murah dan menutup pintu masuk pihak luar untuk ikut intervensi dan bermain di setiap ajang demokrasi di tubuh NU!

Penulis adalah Wakil Sekretaris PCNU Banyuwangi, Abdul Aziz, S.H.I.,M.H (2018-2023)

Seluruh konten yang dimuat dan akibat yang ditimbulkan nantinya merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari penulis.

banyuwangi.viva.co.id membuka ruang seluas-luasnya kepada pembaca untuk mengirimkan artikel, ide maupun gagasan dengan tetap berpedoman kepada kaidah keilmuan hingga kode etik jurnalistik dan menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah.